Kamis, 31 Januari 2008

Memilih Double Stick




Ada yang belum pernah lihat doble stick? Itu lho, senjata berbentuk dua tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai pendek. Pernah nonton filmnya Bruce Lee? Atau film-film kungfu lainnya? Jenis senjata ini banyak dipakai oleh aktor laga dalam film semacam itu.

Nama lain sejata beladiri ini ruyung atau nunchaku. Ukurannya bermacam, bahan pembuatnya pun beragam rupa. Double stick termasuk senjata yang fleksibel dan mudah dipelajari. Ia bisa dipakai sebagai senjata pertahanan, maupun penyerangan jarak dekat dan jauh. Harganya pun beragam, mulai dari Rp12.000 sampai mendekati kisaran satu juta untuk produk impor. Kamu juga bisa kok membuat sendiri jenis senjata ini, dari pipa besi yang dipotong dan dilas untuk menyambungkan rantainya. Bahan pembuat senjata ini cukup variatif. Ada yang terbuat dari spon, kayu, besi, dan almunium. Doble stick buatan lokal Indonesia biasanya terbuat dari kayu kelapa, dan sayangnya tidak bisa bertahan lama bahkan besar kemungkinan bisa habis dimakan rayap. Doble stick kayu produk impor jauh lebih kuat dan berkualitas. Entah mengapa demikian. Padahal segala jenis kayu berkualitas bisa kita temukan di sini.

Variasi dari senajta doble stick ini adalah triple stick, tentunya dengan tiga tongkat dan tiga rantai yang menghubungkannya. Penggunaannya sama saja, cuman mungkin terasa lebih ribet.

Biasanya, ilmu tentang penggunaan senjata ini didapat jika kamu bergabung dengan klub beladiri impor seperti taekwondo, kungfu, ju jit su, atau karate. Sedangkan dalam klub beladiri lokal, seperti pencak silat, ilmu penggunaan senjata jenis ini tidak terlalu dikenal. Kamu juga bisa belajar dari buku-buku tentang jurus nunchaku ini atau membeli DVD-nya. Meski, buku dan DVD tersebut memang agak sulit didapat di toko-toko buku atau olahraga standar.

Nah, bagi kamu yang tertarik memiliki dan mempelajari jenis senjata ini, untuk awalan beli yang terbuat dari spon agar tidak sakit saat tergelincir dan membentur badan ketika kamu mulai belajar menggunakannya. Kalau sudah lancar dan mantap memegangnya, kamu bisa coba double stick yang terbuat dari kayu. Dengan syarat, genggaman kamu harus lebih kuat dan benar. Sudah mahir menggunakan yang kayu? Oke, kamu bisa beralih ke double stick berbahan almunium. Cari yang ringan saja agar tidak terasa terlalu berat. Ketepatan ayunan dan penggunaan jurus bergantung dari ketepatan dan kekuatan genggaman tanganmu. Buat kamu yang sudah mahir dan expert, bolehlah menggunakan double stick besi yang lebih berat untuk latihan.

Sebenarnya, hampir di semua toko olahraga menjual double stick. Namun, jika kamu ingin mendapatkan produk impor yang kualitasnya lebih baik (bahkan ada pula yang dihiasi ornamen printing naga) kamu bisa mengunjungi distro-distro martial art yang ada di kota-kota besar, atau pesan via internet.

Belajar doble stick tidak terlalu sulit kok. Butuh kesabaran dan kemauan tentunya. Kapan aku pertama kali tertarik dengan senjata jenis ini? Kalau tidak salah sekitar tahun 1999, saat menyaksikan pertunjukan pencak seni di sekolahku. Lulus SMU kebetulan aku mendapat hadiah sebuah doble stick pipa besi dari seorang kawan. Sejak itu aku mulai rajin berlatih. Awal berlatih, aku selalu memakai helm agar tidak sakit ketika ayunanku tergelincir dan mengenai kepala. Lama-lama jadi lancar dan tidak membentur-bentur badan lagi. Dan, jadilah sekarang double stick jadi ”mainan” favoritku. Aku punya dua macam double stick dirumah, satu dari besi, satu lagi triple stick dari kayu. Inginnya sih bisa punya satu lagi double stick impor berbahan kayu. Miladku sebentar lagi lho...kalau mau ngasih hadiah itu aja deh..hehe..

Recomen stuff:
Buku

Dynamic Nunchaku
A Training Guide includes Preparing for practice, Drawing the nunchaku, Developing lighting dexterity, Blocking & striking, fighting techniques, Applications. (Tadashi Yamashita)

Nunchaku the Complete Training Guide-Book
The Complete Training Guide includes, History of the Nunchaku, Preparing for practice, Kata, Blocking & striking, fighting techniques, Applications. (Jiro Shiroma)

200-111 Nunchaku
Karate Weapon of Self Defence Book. (Demura)

Advanced Nunchaku
A Training Guide includes Methods of grasping the Nunchaku, Swinging and striking techniques, Changing grasps, Double flips, combinations, Double Nunchaku, Ideas for self-defence, Kata. (Demura & Ivan)

Situs
http://www.martialartshop.co.uk/martial_art_nunchaku.htm
http://www.kenji-martialarts.com/

Senin, 28 Januari 2008

ODE UNTUK PAMAN GOBER






Kota Bebek mendung

Bukan, bukan karena Paman Gober meninggal kemarin siang

Cuma memang sekarang musim hujan

Kota Bebek mendung

Bukan, bukan karena nestapa Donald, Kwik Cs, Nenek Bebek, bahkan Gerombolan Si Berat
Cuma ya karena musim hujan

Donald nelangsa,

Meski selama hidupnya Paman Gober selalu menghisapnya tanpa balasan setimpal,

Paman Gober telah menjelma menjadi semacam raja hidupnya

Lang Ling Lung bersedih,

Meski selama hidupnya Paman Gober selalu memanfaatkan setiap penemuan jeniusnya

Tanpa sedikit pun Lang Ling Lung mencicipi hasilnya

Paman Gober telah menjelma menjadi semacam raja hidupnya

Gover Bebek dan Otto Bebek berduka,

Meski selama hidupnya Paman Gober mendominasi dan menguasai semua lahan dan peluang bisnis mereka

Paman Gober telah menjelma menjadi semacam raja hidupnya

Bahkan,

Gerombolan Si Berat pun murung meratap!

Meski tak sedikit pun mereka berhasil mengutip sekeping uang dalam gudang-gudang uang Paman Gober

Tapi,

Mimi Hitam hanya terdiam menerawang

Ia mulai berpikir dan mengira

Dimana gerangan keping keberutungan Paman Gober disimpam?

Apa dikubur bersamanya?

Atau disimpan di luar negeri? Di Kota Angsa barangkali…..

Kota Bebek mendung

Bukan, bukan karena Paman Gober telah meninggal

Tapi karena dengusan setengah hati mereka yang dipinggirkan

Pada masa demam emas



Inspired by SGA
Foto: www.mdamt.net



Foto: szeszak.tvn.hu



Serial tulisan ini semacam ingin membahas berbagai masalah mental disorder yang dialami oleh tokoh dalam cerpen-cerpen yang aku publikasikan di blog ini. Bukan, bukan beralih profesi menjadi psikolog amatiran. Sekedar ingin memaparkan dan menganalisis benang merah antar tokoh yang ada dalam cerpen-cerpen yang aku tulis medio tahun 2005-2008 ini. So, kalau belum sempat baca, baca dulu ya baru kembali lagi ke tulisan ini.

CEMARA DALAM LEMARI
Tokoh dalam cerita ini bernama Cemara. Gejala disorder mulai ia perlihatkan semenjak kematian ayahnya. Ketidakrelaan akan kematian ayahnya, ditambah lagi dengan segala perubahan drastis yang ia rasakan pada mamanya serta lingkungan rumahnya, menjadi penyebab utama munculnya mental disorder pada diri Cemara. Faktor pemicu munculnya disoreder ini adalah tindak kekerasan dan pengabaian yang dilakukan oleh mamanya.
Menurut pendapat Vander Zanden (1989), perilaku menyiksa dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk penyerangan secara fisik atau melukai anak; dan perbuatan ini dilakukan justru oleh pengasuhnya (orang tua atau pengasuh non-keluarga).

Pada saat itu, daya tahan psikologis Cemara berada dalam titik rendah. Ia pun tak punya orang lain yang bisa dijadikan sebagai tempat mencari pengganti kasih sayang. Penyiksaaan dan pengabaian ini akhirnya menimbulkan beberapa masalah pada diri Cemara, antara lain sebagai berikut.

Masalah Relational
•Kesulitan menjalin dan membina hubungan atau pun persahabatan
•Merasa kesepian
•Lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan kawan-kawannya
•Lebih suka menyendiri
•Merasa takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain

Masalah Emosional
•Menyimpan perasaan dendam
•Depresi
•Merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua
•Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
•Merasa bingung dengan identitasnya
•Tidak mampu menghadapi kehidupan dengan segala masalahnya

Masalah Kognisi
•Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan
•Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri
•Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri
•Memiliki citra diri yang negatif

Masalah Perilaku
•Muncul perilaku berbohong
•Menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk mencari perhatian

Masalah-masalah tersebut akhirnya berubah menjadi simtom-simtom (gejala, tanda) yang mengacu pada beberapa gangguan jiwa.

Skizofrenia. Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. Gejala penderita skizofrenia antara lain:
* Delusi
* Halusinasi
* Cara bicara/berpikir yang tidak teratur
* Perilaku negatif, misalkan: kasar, kurang termotivasi, muram, perhatian menurun

Halusinasi muncul lewat suara-suara yang tiba-tiba terdengar, bahkan mengajaknya berbicara. Pada semua kasus skizofrenia, suara-suara tersebut selalu mengajak penderita pada tidakan negatif, bahkan bunuh diri. Pada diri Cemara, suara-suara itu menjelma menjadi teman dan malaikat yang menyelamatkannya, bahkan mengantarkannya ke dunia sang ayah.


Gangguan Bipolar
—Selalu berubah-ubah
Penderita gangguan ini tidak bisa mengendalikan suasana hati dan emosi. Suatu ketika ia bisa menangis meraung-raung, namun sesaat kemudian ia bisa berubah tertawa, lalu kembali bersedih. Apa penyebab gangguan bipolar? Salah satunya adalah faktor genetis—yang lebih kuat dari pada faktor depresi. "Menurut beberapa kajian ilmiah," kata Ikatan Dokter Amerika, "Anggota keluarga dekat—orang tua, kakak, adik, atau anak-anak—dari penderita depresi bipolar lebih cenderung mengalami penyakit ini 8 hingga 18 kali daripada anggota keluarga dekat dari orang yang sehat. Selain itu, memiliki seorang anggota keluarga dekat yang menderita depresi bipolar dapat membuat Anda lebih rentan terkena depresi mayor."

Bunuh Diri
"Setiap tindakan bunuh diri ada alasanya sendiri: sangat pribadi, tidak bisa diketahui, dan begitu meresahkan." (Kay Redfield Jamison, psikiater)
Ada beberapa hal yang menjadi pemicu seorang anak atau remaja untuk melakukan bunuh diri.

•Menyerah pada keputusasaan
Anak dan remaja adalah sosok yang secara umum belum memiliki kekuatan jiwa layaknya orang dewasa. Mereka mudah dihinggapi keputusasaan, hanya karena masalah yang kecil. Saat berada dalam kondisi menyerah, merasa sakit hati, dan tidak bisa berbuat apa-apa itulah mereka cenderung berpikir bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya itu. Hiroshi Inamura, seorang sepesialis dalam menangani orang-orang yang berkecendrungan bunuh diri di Jepang, menulis, "Melalui kematian mereka sendiri, anak-anak memuaskan desakan batinya untuk menghukum orang-orang yang talah menyiksa mereka.”

•Menjadi korban penindasan

Dalam sebuah survey yang dilakukan di Inggris menunjukan bahwa anak-anak yang menjadi korban penindasan yang parah oleh anak lain, kemungkinan untuk mencoba bunuh diri hampir tujuh kali lebih besar.

•Penyebab lain bisa jadi karena mereka terlibat masalah di sekolah, patah hati, stres karena ujian, atau kekhawatiran yang berlebihan pada masa depan. Bagi seorang anak berprestasi yang perfeksionis, suatu kegagalan atau sekedar kemunduran (nyata atau masih berupa bayangan) bisa menjadi faktor pendorong percobaan bunuh diri.


Referensi:
Buku
Judul: Mereka Bilang Aku Gila (Memoar Seorang Skizofrenik)
Pengarang: Ken Steele & Claire Berman
Penerbit: Qania, Bandung, 2004

Film
Judul: A Beautiful Mind
Pemeran: Russel Crowe, Ed Harris, Jennifer Connelly, Paul Bettany, dll.

Situs
http://www.sivalintar.com/
http://www.e-psikologi.com/

:

Selasa, 15 Januari 2008

CEMARA DALAM LEMARI

“Ara, dimana kamu!! kalau tidak bergegas kita bisa terlambat menghadiri resepsi pernikahan Om Romi.”

Gelegar suara Mami terdengar membahana memanggil namaku. Heran, bagaimana bisa mami bersuara sekeras itu seakan tebalnya dinding rumah megah ini tak mampu sedikitpun meredam lengkingannya. Aku tetap diam tak bergeming. Membatu bisu dalam sarang persembunyian yang hanya kuketahui seorang diri. Perlahan kudengar suara sepatu Mami ritmis mengetuk-ngetuk tangga berlantai marmer yang konon dipesan langsung dari Italia. Sungguh pemborosan yang tak masuk akal. Seperti biasa, selanjutnya pasti bunyi pintu kamarku yang dibuka kasar diiringi hujam teriakan Mami yang seperti sambaran petir.

“Anak nakal, dimana kamu! Kali ini kamu harus mau ikut Mami! Kalau tidak wanita tua sialan itu pasti takkan henti-hentinya berkomentar miring tentangku. Apa dia kira hanya dia satu-satunya wanita yang bisa mendidik anak?! Ayolah, sayang…dimana kamu, Nak? please, bantu mami kali ini saja.”

Suara Mami terdengar semakin manis merayu, namun aku takkan tertipu lagi. Terakhir kali aku mau menunjukkan batang hidungku dari tempat persembunyiannku, hanya dera sapu lidi yang ternyata menjadi imbalannya.

“ Ara! Dasar anak tak tahu diuntung! Kamu sama saja dengan Ayahmu, tak pernah sedikitpun berterimakasih pada orang yang berjasa padanya. Baiklah, jangan harap bisa melihat dunia sampai besok pagi! Brakk..!”

Omelan panjang itu berakhir seperti biasanya, pintu yang dibanting keras dan kamar tidurku yang dikunci dari luar selama 24 jam. Entah untuk yang keberapa kalinya. Saking seringnya, aku sampai mempersiapkan secara khusus jika sewaktu-waktu aku kembali dikunci sehari semalam dalam kamar tidurku ini. Diam-diam kuletakkan sebuah kardus mie instant bekas di kolong tempat tidurku sebagai tempat menimbun berbagai biscuit dan permen yang secara sembunyi-sembunyi kucuri dari kantin sekolah.
Setelah yakin mendengar deru Volvo hitam Mami yang beranjak menjauh, aku keluar dari sarangku. Lemari besar dari jati berukir yang diletakkan di pojok kamarku, persis disebelah jendela yang juga dari kayu berukir dan besarnya hampir setinggi daun pintu lemari kayu tadi. Sebenarnya, bagiku tempat ini adalah semacam pintu gerbang. Pintu gerbang menuju dunia dan rumahku yang sebenarnya.

Aku memang tak pernah berminat ikut menghadiri pesta-pesta yang sering diadakan dan dikunjungi mami. Selain karena sebenarnya Mami memang enggan mengajakku, semua pesta mewah meriah itu seluruhnya penuh kepalsuan. Perempuan-perempuan yang memaksa diri berdandan anggun, para lelaki yang mati-matian bergaya bak eksekutif muda, pasangan suami-istri yang tak kalah keras berusaha tampil seakan rumah tangganya berjalan ibarat kisah romantis dalam dongeng: Dan mereka berdua akhirnya hidup bahagia selama-lamanya.

Mami terpaksa akan merayu mengajakku jika pesta itu berlangsung di rumah megah ini atau diadakan oleh salah satu anggota keluarga besarnya yang menurut cerita Ayah dulu masih keturunan semacam bangsawan kerajaan. Entah kerajaan mana, aku tak pernah berusaha mengingat-ingatnya. Selama pesta berlangsung, Mami tak henti-hentinya melempar senyum kesemua orang sambil tak lepas menggandeng tanganku kesana-kemari. Anehnya, Mami selalu menceritakan kebohongan demi kebohongan tentang diriku.
Anak saya ini IQ-nya melebihi rata-rata lho atau Seperti anak saya Cemara ini dong sekolahnya di sekolah internasional bahkan kadang-kadang Dia ini anak yang manis sekali sama sekali tidak nakal apalagi merepotkan.

Aku hanya diam sembari tak henti tersenyum, karena cuma dua hal itulah yang kata Mami boleh kulakukan jika diajak ke pesta. Namun diam-diam aku tak henti memuji, betapa hebat dan terdengar begitu original buaian kebohongan yang Mami hembuskan. Bahkan aku mulai berprasangka jangan-jangan sebenarnya ia seorang penulis naskah sinetron-sineteron bergaya picisan yang begitu menjamur di televisi, begitu picisannya sampai-sampai sulit untuk diketahui apakah sebenarnya sinetron itu visualisasi dari kenyataan hidup ataukah hidup itu sendiri adalah kisah sinetron yang digelar nyata? Mungkin salah satunya, atau kedua-duanya, bahkan tidak yang manapun.
Lemari besar dari jati berukir ini adalah tempat persembunyian yang sampai detik ini selalau menyelamatkan diriku dari incaran buas amarah dan perintah Mami. Kadang aku sampai tertawa sendiri, begitu ditutupi amarahkah mamiku sampai-sampai setiap kali ia mengacak-acak isi kamar sempit ini tak juga pernah ia berhasil menemukanku. Namun kurasa bukan karena itu, tetapi sebenarnya lemari ini adalah lemari ajaib semacam kantong ajaib milik Doraemon barangkali.

Entah sejak kapan semua keajaiban itu bermula, yang jelas pada suatu hari setelah kepergian Ayah tiba-tiba Mami marah besar karena aku menolak untuk makan malam satu meja dengan seorang pria yang entah siapa namun seolah begitu berarti bagi Mami. Itulah kali pertama aku bersembunyi dalam tumpukan baju tak beraturan di dalam lemari jati itu. Ketika suara bariton mami tak lagi meneriakkan makian dan hentakan, aku masih belum berani untuk keluar.

Saat itulah tiba-tiba kudengar suara-suara manis merayu dalam lemari itu. Awalnya suara-suara itu hanya mendongengkan kisah-kisah pangeran dan putri raja seperti yag biasa Ayah dongengkan untukku sebelum tidur, lama kelamaan di waktu yang lain suara-suara itu mulai mengajakku mengobrol, malah kadangkala juga membisikkan strategi baru untuk menghindari lemparan dan pukulan Mami. Pernah juga sih suara-suara itu mengajakku untuk tinggal selama-lamanya dalam lemari, dengan tambahan janji bahwa mereka akan selalu menjadi kawan baikku serta mengajakku ke dunia yang lebih indah tempat Ayah sekarang berada. Hampir saja aku mengangguk setuju, apalagi setelah tahu bahwa Ayah juga tinggal disana. Tetapi karena aku masih suka melihat matahari terbenam yang tampak jelas dari balik terali jendela kamarku maka kuputuskan untuk menolak tawaran mereka sementara waktu.

Matahari sudah lama terbenam. Rumah ini masih terdengar seolah tak berpenghuni, mungkin Mami dan lelaki itu belum pulang dari pesta Om Romi. Dingin mulai menusuk perlahan, padahal kamar ini satu-satunya ruang yang tidak dilengkapi mesin pendingin akan tetapi terasa lebih menyebarkan nuansa kebekuan.

Oh ya, sejak suara itu muncul untuk pertama kalinya aku juga memiliki kemahiran baru yang tak kalah dengan anak-anak klub drama di sekolahku yang baru, yang tidak pernah kusukai karena kesombongannya. Aku mulai pintar bermain sandiwara!
Kadangkala selepas mendapat konsekuensi – begitu istilah Mami untuk berbagai hukuman yang kuterima- berupa deraan atau cubitan, aku akan menangis tersedu-sedu di dalam kamarku namun sejurus kemudian tertawa terbahak-bahak bila mengingat ekspresi puas wajah Mami yang seolah mampu membuatku jera, kemudian menangis lagi bila rasa perih kembali menjalari. Dan biasanya diakhiri dengan endapan kemarahan yang menggigit dalam dadaku atau kadang cibiran sedikit menghina karena Mami tak mampu juga mengalahkanku yang masih kecil ini.

Volvo hitam milik Mami belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Ah, ini kan malam minggu, pasti mereka tidak akan pulang sampai esok hari seperti malam minggu yang kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Apakah perasaannku saja ataukah memang benar bahwa langit malam ini terlihat berbeda dibandingkan biasanya. Terlihat lebih pekat, lebih gelap, sama sekali nihil cahaya.
Sambil duduk menjulur kaki di pinggi tempat tidur, kupandangi lemari kayu jati itu yang tepat berada di depanku. Kehangatan mulai merasuki.

” Ara rindu Ayah...”

Tanpa sadar ucap kerinduan keluar dari mulut kecilku. Kegelapan hamparan langit di luar sana sedikit demi sedikit mulai menggantikan warna cat tembok kamarku yang semula berwarna biru laut. Kaki kecilku perlahan berjalan menghampiri pintu lemari kayu itu. Sembari menggapai pintunya, aku teringat dongengan Ayah, teringat kelembutan Mami yang dahulu sering membuatkan puding coklat kesukaanku, teringat acara piknik ketempat wisata yang dahulu sering kami lakukan bertiga, teringat mobil kodok milik Ayah yang selalu sedia mengantarkan dan menjemputku dari sekolah.
Pintu lemari kubuka lebar, dengan mantab dan penuh keyakinan aku masuk ke dalamnya dan menutup kembali. Dengan posisi duduk memeluk lutut di sudut lemari perlahan mulai kutajamkan telingaku. Hanya kesunyian, tetapi tunggu dulu...ah, dengungan itu mulai terdengar semakin menguat ! Itulah tanda suara-suara itu mulai berdatangan. Aku ingin menagih janji mereka, yang dahulu sempat kutolak sementara. Kini aku telah siap, siap dibawa serta ke dunia tempat Ayah berada. Aku yakin akan janji mereka untuk selalu menjadi kawan baikku.

” Ayah, Ara datang. Sebentar lagi Ayah bisa mendongengkan kisah putri salju kesukaannku itu lagi...”

Yogyakarta,10/08/06

Rabu, 09 Januari 2008

MEET THE HOBBIT IN BACK

Who knows, life begin at start
When the ring goin burn out
And its true,
They sailin through



“Halo, selamat malam.”
“Malam. Bisa bicara dengan Sava?”
”Dari siapa ya?”
”Lui, Lintang Linui.”
”Oke, tunggu sebentar ya, Mas.”
”Ehm, maaf, Mas. Mbak Sava belum pulang ternyata. Ada pesan, Mas?”
”Bilang saja Lui sudah pulang ke Indonesia. Lain kali saya telpon lagi. Terimakasih.”
-------------------------

Hemm, sudah pagi ternyata. Harusnya gadis itu sudah bangun. Begitu biasanya. Semua tahu ia selalu disiplin mengatur jadwal hariannya. Rasa-rasanya tak pernah ia lalai sekali pun dari jadwal yang lazim ia jalani setiap hari. Namun, kali ini rupa-rupanya anomali berpihak padanya. Ia masih terlelap. Selimut tebal merah bermotif bunga kecil itu masih rapat menyelimutinya. Lampu masih terang menyala, jendela juga belum sedikit pun terkuak. Aneh. Padahal udara pagi bersih ala Metropolis (yang setiap pagi tak luput dihirupnya) begini tak akan bertahan lama di luar sana.

Hemm, aroma wangi ini mulai tercium. Teh hijau kental manis, telur mata sapi, nasi putih mengepul, dan irisan dendeng goreng. Tak salah lagi. Sudah berpuluh-puluh tahun aroma ini menguar di pagi hari. Tradisi barangkali. Sebentar lagi langgam pesisir itu pasti akan terdengar juga mengiringi. Nah, itu dia. Langgam Jawa. Bukan langgam biasa, ini pesisir punya. Semacam nada-nada harapan bagi nelayan yang akan membuang sauh dan mencari peruntungan hidup di keluasan samudera. Iramanya bersemangat. Bercampur baur antara harapan untuk mendapat ikan yang banyak dengan doa agar sang nelayan kembali pulang tanpa cela. Hemm, alunannya padu menggema. Menelusup sampai ke akhir harapan. Nikmat sekali.

”Halo.”
”Halo, selamat pagi. Mau bicara dengan siapa?”
”Sava ada?”
”Dari siapa ya?”
”Lui.”
”Tunggu sebentar ya, Mas, saya lihat ke kamarnya dulu.”
”Maaf, Mas, Mbak Sava belum bangun. Saya tidak berani membangunkan, Mas.”
”Oke. Bilang saja Lui sudah kembali ke Indonesia. Lain kali saya telepon lagi.”
------------------------

Sudah tujuh kali dalam tujuh hari aku menelponnya. Ia tak pernah ada. Aku tak tahu di mana ia bekerja kini, sedang datang ke rumahnya bukanlah suatu hal yang sanggup kulakukan untuk saat ini. Belum. Aku belum siap bertemu dengannya. Dirinya yang baru itu. Aku tak punya banyak waktu. Proyek penggalian sesi ke dua akan segera dilanjutkan. Sebelum kembali ke sana aku harus bertemu dengannya.
---------

Entah sudah gelas yang ke berapa. Yang pasti, lelaki itu sudah sejak pagi tadi terdiam disana. Duduk tak jenak sambil sesekali melayangkan pandang pada rintik hujan yang juga tak kunjung reda. Seolah senada dengan aura gundah yang memancar dari wajah sang lelaki di sudut kafe itu. Kalau dilihat dari penampilannya, pasti ia dari kalangan muda yang fashionable. Bergaya dan terpelajar, begitu kelihatannya. Celananya denim hitam, dengan kaus turtle neck hitam, dan syal merah garis-garis hitam. Di depannya tampak secangkir latte, sepiring donat green tea, dan choco caviar.
---------

Tok..tok..tok..
”Mbak, Mbak Sava...”
“Bangun, Mbak, sudah sore. Dari kemarin malam Mbak Sava belum bangun. Belum keluar kamar. Apa ndak lapar, Mbak?”
”Mbak Sava, sudah bangun belum sih, Mbak? Ini sudah menjelang maghrib lho...”
”Kenapa Bi?”
”Ini lho, Pak, Mbak Sava itu dari tadi malam belum keluar kamar juga. Tadi saya lihat dari halaman depan jendela kamarnya belum di buka. Lampu kamarnya juga masih menyala. Bibi khawatir aja ada apa-apa sama Mbak Sava.”
”Wah, aneh juga ya. Mbak Sava itu kan orangnya disiplin. Bangun tepat waktu, makan tepat waktu, pulang kantor tepat waktu. Kalau jam segini belum bangun juga memang harus khawatir kita, Bi. Kalau ada apa-apa bagaimana?”
”Makanya itu, Pak, baiknya bagaimana?”
”Kita ketuk lagi lima kali, kalau masih tidak ada jawaban kita buka paksa saja, Bi.”
”Ya sudah begitu saja.”
Tok..tok..
”Mbak Sava.”
Tok...tok..tok..
“Mbak Sava!”
“Kita buka paksa saja, Pak.”
”Apa boleh buat, Bi...”
Braakkkk.....
------------

Praaanggg.....
”Aughh....”
-----------


”Mbak, Mbak Sava...”
”Mbak Sava, Mbak?”
”Mbak Sava!”
”Mbak Sava......!!!!!!!”
----------

”Kenapa sih kamu harus pergi?”
”Ini kan memang sudah jadi cita-citaku, Va.”
”Memang di sini gak ada proyek semacam itu?”
”Banyak sih, cuman yang gak ada yang lebih dahsyat dari proyek ini. Proyek ini bisa jadi batu loncatan untukku menjadi seorang ahli yang terpandang di Indonesia.”
”Lui......... .”
”Tenang, man, lu tetap sobat terbaik gua. Melo gitu sih, kayak cewek aja lu...”
”Yee...gua kan cuma gak make sense aja, kenapa juga musti jauh-jauh ikutan proyek penggalian aneh semacam itu. Emangnya di Indonesia udah kekurangan lahan apa, untuk digali-gali.”
”Ha..ha..ha..ngaco lu!”
“Gua janji, man, sepulang dari sana kita lanjutin penjelajahan gunung-gunung ini. Rinjani, right?”
”Absolutely!”



Cigajur/9#01#07
How if it happen to ya?

Minggu, 06 Januari 2008

POINTLESS NOSTALGIC

`the esfand`


If world ain’t got nobody inside,
I may be still here
If world doesn’t exixts any longer,
I may be still, stay here
Cause I’m in the other side
Pluto, maybe



Namaku Ra, diambil dari tokoh Dian Bara dalam sebuah novel karya Bubin Lantang, favorit Mama. Sampai sekarang aku tak berhasil juga hunting novel itu dari berbagai relasi toko buku bekas kenalanku. Mama sepertinya memang begitu menggemari novel itu. Bagaimana tidak, jika nama anak semata wayangnya saja dinamai dengan salah satu nama tokoh dalam cerita itu. Anak-anak Mama Alin, begitu judulnya. Menurut cerita Mama, Dian Bara adalah tokoh favoritnya. Tipikal seorang anak muda yang mandiri dan dinamis, meski dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu yang meninggal ketika melahirkannya. Sayangnya, novel milik Mama itu hangus terbakar bersama ratusan koleksi buku kesayangannya, saat rumah Eyang dilahap api berpuluh tahun silam.

Sejak saat itu, Mama begitu terobsesi untuk mencari buku yang serupa. Berbagai komplek penjualan buku-buku bekas di berbagai kota telah didatanginya. Kwitang di Jakarta, Shopping dan Alun-alun Kidul di Yogyakarta, lapak buku bekas dekat stasiun Bogor, berbagai tempat di kota Bandung, bahkan Surabaya. Tak cukup itu saja, Mama juga aktif mengikuti berbagai mailing list perbukuan serta rajin blog walking ke bermacam-macam situs dan blog toko buku online. Awesome!

Aku tak pernah berkomentar. Pun tak pernah bertanya-tanya apa sebenarnya yang membuat Mama begitu ngotot dan terobsesi untuk mendapatkan buku itu lagi. Yang pasti, aku yakin buku itu memang worth enough buat Mama. Kalau tidak, mana mungkin Mama rela menghabiskan seluruh week end-nya untuk jalan-jalan dan mencari buku itu. Namun, aku cukup kagum dengan usaha Mama itu. Kalau kubanding-bandingkan, usaha rajinku membeli dan mengoleksi serial Detektif Conan serta berbagai figur anime favoritku kalah jauh dengan Mama.

Kami memang cuma tinggal berdua di rumah ini. Rumah dengan desain Jawa tradisional, yang dipenuhi dengan perabot bergaya etnik di pinggiran kota Bogor. Tak jauh dari hutan CIFOR. Menurut cerita Mama, Papa meninggal saat aku masih kecil dalam sebuah kecelakaan mobil menuju Jakarta. Segalanya berjalan dengan sempurna. Tanpa konflik dan masalah pelik yang berarti. Sampai pagi hari itu.
----------------

Hemm, udara pagi di daerah ini memang selalu sejuk dan menyegarkan. Menyamankan paru-paru dan pikiran. Perlahan kuhirup udara yang sangat berharga itu dalam-dalam, smabil tetap bertumpu pada pinggiran jendela kamarku yang tepat mengarah ke danau CIFOR. Ini adalah salah satu sudut favoritku. Papa begitu apik mendesain rumah ini, terutama kamarku. Pada malam hari, pemandangannya lebih dahsyat lagi dengan pantulan perak rembulan yang membiaskan cahayanya di hamparan air danau yang sehitam pekat. Jangan memalingkan pandangan ke sudut-sudut kamarku yang lain, karena hanya deretan rak buku yang akan didapati.

Itu belum seberapa dibandingkan dengan ruangan-ruangan lain dalam rumah ini yang juga dipenuhi dengan koleksi buku-buku Mama dan Papa yang jumlahnya entah berapa ribu. Pada hari-hari tertentu kami membuka rumah ini untuk umum, bagi mereka para pecinta buku tentunya. Papa adalah penggemar buku detektif dan petualangan. Koleksi Sherlock Holmes, Hercule Poirot, STOP, Lima Sekawan, Trio Detektif, Karl May adalah koleksi yang kata Mama paling disukai Papa. Berbeda dengan Mama yang lebih suka mengoleksi karya-karya Pramoedya, Kuntowijoyo, Iwan Simatupang, John Grisham, dan Milan Kundera.

”Pagi, Ma. Masak apa nih buat sarapan?”
”Pagi, Ra. Mama dah buatin omelet jamur buat kamu. Lengkap dengan daging goreng dan susu kedelai.”
”Wah, tumben menunya lain dari biasanya, menang undian bank ya, Ma?”
”Kamu ini, Ra. Lagi kepingin aja sarapan omelet dan daging goreng. Tau gak, semalam Mama mimpi aneh.”
”Mimpi apa memang?”
”Tiba-tiba saja ada kiriman paket buat Mama, tanpa nama dan alamat pengirim. Dibungkus dengan kertas kado hitam polos mengilat, dengan pita merah di sudutnya.”
”Isinya?”
”Nah, isinya ini yang paling mengejutkan sekaligus menggembirakan. Buku Anak-anak Mama Alin karangan Bubin Lantang yang favorit Mama, yang dulu ikut terbakar bersama buku-buku Mama yang lain. Bedanya, buku itu seratus persen gress, baru! Dengan wrapping plastik yang masih melekat. Sayangnya, begitu buku itu Mama pegang untuk dibaca, tiba-tiba saja ia menghilang! Berubah wujud menjadi buku tulis polos bersampul hitam.”
”Iya, aneh juga mimpi Mama. Tapi, gak usah terlalu dipikir lah, Ma. Anggap saja seperti mimpi biasanya.”
”Harusnya memang begitu, Ra. Tapi, entah. Masih terbayang saja sampai sekarang.”
---------------

Sejak saat itulah Mama begitu bersemangat, obsesif malah, untuk mencari dan mendapatkan buku idaman dalam mimpinya itu. Sudah lima hari Mama tidak pulang. Obsesi huntingnya semakin menajdi-jadi belakangan ini. Barusan ia menelponku, Mama sedang ada di Denpasar. Apa lagi kalau bukan mengubek-ubek tempat buku bekas disana. Mama selalu bungkam bila kutanya apa sebenarnya alasan utama melakukan semua itu. Apa sekedar karena mimpi itu, ataukah ada alasan lain. Saking penasarannya, sempat terbersit pikiran aneh dalam otakku, jangan-jangan Bubin Lantang itu ayahku yang sebenarnya. Tapi, cepat-cepat kutepis anggapan itu. Terlalu tidak beralasan.
-------------

Sudah dua tahun sejak Mama meninggal. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Mataram, saat tengah melanjutkan keinginan kuatnya mencari buku itu. Sebelum meninggal, Mama menggenggam tanganku erat-erat sambil menggumamkan judul buku itu berkali-kali. Mama pergi. Dan, aku sendiri. Sampai akhir tak juga kutemukan jawab mengapa buku itu begitu berharga untuknya.

”Buku Lama”, begitu nama toko buku yang sudah dua tahun ini kujalankan. Yang dijual tujuh puluh persennya buku-buku bekas alias used book, sisanya baru buku-buku baru. Aku juga menjalankan versi toko buku online-nya dengan alamat situs yang sama. Perkembangan toko buku ini lumayan pesat, terlebih lagi dengan pesanan buku-buku lama dari mereka yang ingin bernostalgia kembali dengan buku-buku lama yang mereka baca di masa kecil. Di setiap perjalanannku mengumpulkan buku-buku bekas di seluruh kota di Nusantara, di setiap hubungan dengan para relasi toko buku bekas, tak lupa pula kutanyakan buku kesayangan Mama itu. Cuma itu alasan utamaku membangun toko ini.



Ciganjur, 6#01#07
for all, with their own fav book