:Muthia Esfand
Tak lama setelah novel Ayat-ayat Cinta (AAC) mencapai puncak penjualannya, saya berkunjung ke sebuah toko buku arus utama di daerah Depok, Jawa Barat. Di bagian rak novel islami saya melihat fakta yang sangat menarik untuk dicermati lebih lanjut. Follower dari novel AAC sudah sedemikian banyaknya, dan yang paling menarik, hampir seluruhnya memilih model perempuan berkerudung, bahkan bercadar, sebagai sosok utama di sampul depan.
Booming novel AAC sebenarnya bisa dibaca sebagai sebuah ekspresi keingintahuan masyarakat terhadap ajaran Islam yang dianggap lebih puritan. Sebagai perimbangan, jenis buku Islam nonfiksi yang menduduki jajaran penjualan terbaik adalah buku-buku yang mengambil tema-tema dasar dalam Islam (seperti shalat, sedekah, kematian, kisah keluarga Nabi, kumpulan doa dan zikir). Ditambah lagi dengan makin maraknya kelompok-kelompok pengajian Islam alternatif, yang cenderung menawarkan asupan nilai spiritual yang lebih sederhana tanpa banyak wacana. Dan, entah berkaitan entah tidak, semakin dilengkapi pula dengan bermunculannya berbagai kelompok aliran Islam yang disinyalir menyimpang dari pakemnya. Umat Islam di Indonesia bisa jadi telah lelah dengan sekian banyak perdebatan wacana di antara para pemuka agama Islam, maupun kelompok-kelompok Islam mainstream. Oleh karena itu, mereka mencoba untuk memenuhi sendiri kebutuhan tentang nilai-nilai islam mendasar, dengan media dan bahasa yang lebih sederhana dan familiar di mata mereka.
Karya fiksi sejenis novel pada hakikatnya adalah ruang tempat para penulis menyisipkan pesan dan pandangannya terhadap kondisi yang ada di sekitarnya. Maka, kita akan beranjak keluar wilayah struktural dari novel-novel islami itu, untuk mengupas makna tertinggal di balik penggunaan simbol-simbol puritan tersebut. Dalam dunia semiotika (ilmu tentang tanda) dikenal konsep after the fact (yang dipelopori oleh seorang tokoh semiotika, Roland Barthes). After the fact mengacu pada kenyataan di luar fakta-fakta yang terlihat, sebuah temuan yang bukan fakta, setengah fakta setengah perkiraan fiktif, namun bisa jadi adalah proyeksi sejujurnya dari realita masyarakat di luar sana.
Sebelum novel-novel dengan sampul bergambar perempuan bercadar itu menumpuki pasaran, cadar pasti diidentikkan dengan kelompok Islam yang sangat “Taliban”, ekstrim, teroris, fundamentalis, antipolitik, dan sekian pandangan lain. Dalam dunia perbukuan, cadar sebagai sebuah simbol religi biasanya terselip di dalam buku-buku beraliran salafy, yang notabene memang mengambil paham bahwa mengenakan cadar adalah sebuah keharusan bagi seorang muslimah, atau dalam novel-novel yang ditulis oleh para novelis Asia Barat, yang notabene mengangkat cadar sebagai simbol yang mendiskriminasi serta membelenggu kebebasan perempuan sehingga perlu untuk dilawan bahkan dienyahkan. Nuansa perlawanan terhadap cadar bisa kita baca dalam banyak novel karya penulis Mesir atau Iran. Di Indonesia, para penulis karya fiksi Islami biasanya akan menjauhi simbol-simbol yang terlalu segmented semacam ini, demi merengkuh pembaca yang lebih luas. Namun, ternyata tren memang akan senantiasa bergeser dan berputar mendekati titik dasarnya.
Cadar kemudian diangkat menjadi salah satu daya gedor penjualan sebuah buku, dan ternyata berhasil. After the fact dari hal ini menyiratkan bahwa keberhasilan penggunaan simbol cadar tersebut karena simbol tersebut ditarik keluar dari ruang perdebatan paham yang selama ini melingkupinya. Ketika ia ditarik keluar maka tentunya simbol tersebut butuh untuk dilekatkan pada ruang persepsi yang baru, dan adalah sebuah keputusan yang brilian untuk mendekatkannya pada tema percintaan antarmanusia. Well, tema ini memang menjadi bius yang tepat bagi para pembaca untuk sesaat tidak memikirkan deretan perselisihan atau histori kelam yang melingkupi simbol cadar tersebut.
Tren dunia buku memang kadangkala menginspirasi tren dunia film dan sinema pula. Maka, telah kita saksikan bersama betapa simbol cadar juga menuai suksesnya ketika disinergikan dengan sekian faktor pendukung lain dalam ruang visual tersebut. Tentu saja, dengan tetap mempertahankan pendekatan tema percintaan antarmanusia. Memang, jika sekilas kita mengenakan kaca mata struktural maka kita akan mendapati bahwa cadar tidak lebih berposisi sebagai bagian dari latar semata. Latar budaya yang direpresentasikan pada pernak-pernik pakaian para tokoh dalam cerita. Namun, cadar lantas menjadi simbol yang direproduksi secara signifikan oleh industri perbukuan dan sinema.
After the fact yang lebih ironis terletak pada kenyataan bahwa lagi-lagi tanda yang diproduksi oleh sekian karya sastra berlabel Islami itu berujung tak lebih jadi sekedar komoditi industri. Memang, pada dasarnya tanda-tanda itu diperlukan untuk menarik kepercayaan para pembaca bahwa karya tersebut benar-benar Islami. Mengapa? Karena mau tidak mau harus diamini bahwa masyarakat kita adalah pengonsumsi tanda yang akut, bukan pengonsumsi substansi nilai. Sebuah nilai religi harus dibalut kamuflase bersimbol religi, jika ingin dinilai sebagai suatu hal yang religius. Yah, pada akhirnya kelompok tanda dalam karya sastra Islami ini tidak lagi bisa mengalami apa yang disebut dengan demokratisasi tanda-tanda. Ia tak cukup kuat lagi untuk men-sounding substansi nilai yang menjadi inti dasarnya.
Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa tanda yang diproduksi sebagian besar adalah tanda yang bersifat sexist, lebih tepatnya mengacu pada perempuan. Maka, makin bertambahlah amunisi untuk memperpanjang rantai industri sexist ini. Betapa dahsyatnya, bukan? Ketika cadar sebagai simbol yang boleh dibilang rentan konflik, tiba-tiba ter-blow up secara massif sebagai sebuah simbol yang disandingkan dengan tema percintaan. Luar biasa sekali, memang, kelihaian pelaku industri komersial di Indonesia ini. Pada pointer inilah biasanya sastra Islami mendapatkan tentangan.
Sebuah karya sastra, apalagi fiksi, memang butuh detail agar suasana yang dibangun benar-benar menyentuh ruang kenyataan sang pembaca. Tetapi, kebiasaan banyak para penulis fiksi Islami yang lebih mengedepankan simbol alih-alih subtansi menjadi sangat menganggu, apalagi jika hanya berujung sebagai pemasok materi untuk industri komersial, meskipun secara tidak langsung. Semangat menjadi pilihan bacaan alternatif tidak lagi bisa menjadi dalih jikalau memang sastra Islami ingin eksis secara elegan di tengah dunia sastra Indonesia. Ia harus lebih bisa dewasa, menjangkau, dan berwibawa; baik secara konten maupun kemasan. Tak bisa lagi sekedar “menumpang” pada sebuah tatanan nilai yang sudah stabil (baca: Islam) jikalau ingin diakui sebagai bagian dari dunia sastra yang lebih luas.
Ruang sastra bisa jadi sebenarnya tidak butuh label, tidak butuh sekat-sekat berdasarkan ideologi, tidak butuh kubu-kubu yang terlalu fanatik apalagi arogan. Ia hanya butuh dimuati oleh nilai-nilai kenyataan yang menyentuh, menginspirasi, dan mengubah visi. Jadi, jangan membakar karya sastra, bakar saja simbolnya [?]
Lahat, 21/9/08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
yang perlu dibakar tu CINTAnya bukan cadarnya. bayangin ta,mbak gara2 novel ayat-ayat CINTA laris manis, jadi muncul novel CINTA-CINTA lain, salah duanya sajadah CINTA dan langit-langit CINTA. jadi bosen liatnya
bagaimana kalau kita buat novel "setan2 cinta" ul? haha
Ya tuh Mba. Afi juga lihat banyak novel2 yang isinya atau ilustrasinya, wanita bercadar. Salah satunya: Cinta Yang Terlambat, Karya: Dr. Ikram Abidi.
yayaya...., selama ini Novel (kebanyakan) atau film islami selalu ngomongin cinta. Masih banyak hal lain yang kita "suguhkan" selain cinta kan? itu emang gak salah siy... tapi jadi monoton deh
Posting Komentar