:Muthia Esfand
Malam sudah mulai memekat, sehitam ramuan kopi arang buatan Batu yang harumnya bagai melepaskan serabut jiwa. Lampu-lampu rumah dan jalan sudah menyala berkerlipan. Sengaja pintu kedai belum dibukanya, ia ingin membereskan dulu kekacauan kecil yang rutin dibuatnya di dapur belakang menjelang kedai dibuka. Alu batu penggiling kopi, daun pisang berserakan sisa pembungkus timphan, potongan batang pohon pisang yang tidak terpakai, dan beragam sampah sisa memasak.
Batu Samban namanya. Lelaki muda perantauan dari Pulau Lombok. Ia menduga nama itu diberikan oleh Inak dan Amaknya untuk membuatnya sentiasa teringat pada desa kecil tempat ia dilahirkan. Batu amat mencintai laut. Itulah sebabnya ia selalu memilih daerah-daerah di tepian pantai sebagai tempatnya mencari peruntungan hidup.
“Tumben, baru buka. Padahal dari tadi aku dah lewat sini dua kali. Biasanya jam lima udah buka, Tu.”
“Iya nih, Pak. Tadi saya kesorean pulangnya, habis dari Denpasar. Ada yang musti dibeli.”
“Oo… . Kopinya satu ya, Tu. Sayur jamurnya juga ya. Lapar sekali aku… .”
“Beres, Pak Amat. Lapar sekali kelihatannya, habis kerja berat, Pak?”
“Iya, Tu, ada proyek di dekat Sanur. Biasalah…ada hotel baru lagi yang akan dibangun. Heran aku, kenapa masih saja ada orang kaya yang berusaha menjejali daerah ini dengan lebih banyak lagi hotel dan kafe-kafe. Makin padat saja Mertesari ini.”
Sudah hampir satu tahun Batu tinggal di tempat ini. Di pinggir jalan kecil tak jauh dari pintu masuk Pantai Mertesari. Kedai yang dibukanya merangkap juga menjadi tempat tinggalnya. Sederhana. Sangat. Hanya bedeng separuh bata separuh kayu apung, dengan dua bilik kecil tempat ia tidur dan memasak. Di depan gubuk kecil itu Batu membuka usaha kedai kopi. Berbekal meja kayu, tiga buah bangku panjang yang ditata sepanjang sisi meja, dan perlengkapan pecah belah lainnya. Semua meu yang disajikan di kedai ini istimewa, paling tidak itu pengakuan dari semua pelanggan setia kedai kopi milik Batu.
“Wah, Pak Amat sudah ada di sini rupanya. Kopi arang satu ya.”
“Gak makan Pak Wan?”
“Hem, tadi sih sudah makan di rumah. Tapi bolehlah, nasinya satu, tambah sayur ares dan sate kerang bakar.”
Kopi Arang adalah minuman andalan kedai ini. Bukan jenis kopi yang biasa disajikan di daerah Bali, memang. Itulah sebabnya kedai milik Batu cepat tersohor dari mulut ke mulut. Sederhana saja resepnya, kopi bali hasil tumbukan dan racikannya sendiri, diseduh dengan air panas dari kuali tanah, ditambahkan sebongkah kecil arang panas membara ke dalam secangkir kopi yang mengepul itu. Resep kopi yang unik ini didapatnya ketika merantau ke Kota Jogja, dua tahun yang lalu. Di sanalah resep original kopi arang ini berasal. (bersambung)
Ciganjur, 3/03/08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Aslkm..mbak mutia esfand
mo nanya neh, dimana ya dapetin buku2 novel mbak ya ?
ada beredar di gramedia nggak ?
ato di jawa aja ? sy di sumatera
wah..terimaksih doanya mas..sayangnya smpai skrng sy blm punya waktu luang yg cukup utk menulis novel. kalau buku nonfiksi siap terbit insyaallah sudah ada, tapi msh ngantri terbit di penerbit di jogja.
semoga kedepannya saya bisa menghasilkan lebih banyak karya lg dlm bentuk buku
-muthia esfand-
whewww... kopi arang kang Man sudah nyebrang pulau toh...??
lam kenal buuuw...
kopi arang saatnya go internasional.amin
wih mantab..kalo boleh, tutornya dong gan.. ane mau post di blog ane nih .. zonakopi.com
Posting Komentar