Kamis, 27 Desember 2007

SANG PENYINAR


Foto: doc. istimewa


`the esfand`


Seperti biasa, akulah yang mengawali segalanya. Dalam kesederhanaan fajar, kubuka tirai kegelapan yang menyaput semesta dengan membiaskan cahayaku berkas demi berkas.

Seperti setiap apa di segenap penjuru mata angin, tak sedikitpun pernah kupinta aku yang hakiki seperti saat ini. Entahlah, kesejatianku pun baru-baru saja mulai kugali dan kupahami. Aku tak pernah mengeluh akan rutinitas keseharian (yang tak pernah kutahu sejak kapan bermula) yang selalu sama. Ketika alam menyampaikan pertanda bahwa aku harus segera menampakkan diri, maka kuikuti ia tanpa kata. Kusebar luas sinarku tanpa pilih kasih, walau terkadang serombongan awan putih kelabu bermain nakal di seputarku. Ketika alam kembali menyampaikan pertanda di rentangan paruh waktu untuk segera beranjak menuju ketinggian langit, aku pun tanpa tanya menuruti. Begitu pula ketika ketiadaan semu mulai kujelang saat petang datang. Kulakukan saja.

Dia pun tak jauh beda.

Segala sesuatunya ada dengan sendirinya, dengan sederhana. Dan, aku pun di sini. Pendar cahaya kumiliki sendiri. Di kejauhan bentangan semesta kucoba selalu menjadi teman setia. Kubagi sinaranku pada siapapun, apa pun. Kubiaskan harap di setiap garis cahaya, meski dalam diam. Aku selalu di sini, tanpa pernah beranjak sedikitpun, sekalipun. Kadangkala, kawan-kawanku berkerumun sehingga membentuk bentukan tertentu, menjadi salah satu pertanda bagi semua. Aku tak pernah meredup, namun karena tak hanya ada aku dan kawan-kawanku di keluasan jagad ini maka ada masanya pula terjadi benturan antara sesama penghuni angkasa. Harus ada yang tersingkirkan, terhempas melewati batas ruang waktu.

Dan, aku tetap setia. Terkadang memang, ada rasa tak mengerti akan apa yang terjadi sebenarnya. Tentang keadaanku. Sudahlah, mungkin tak semua kesejatian keberadaanku bisa kupahami mendalam. Kupercaya saja, pada kedalaman rasaku untuk tetap setia dengan pendar sinaranku. Di sini.

Begitu pula dengannya.

Tak setiap saat aku ada, tak setiap saat terlihat tepatnya. Entah berapa bilang cahaya harus kutempuh untuk mendapatkan kesempurnaanku seutuhnya. Kesempurnaan yang melapangkanku, karena membuatku mampu memancarkan cahaya putih benderang yang mengagumkan. Kesempurnaan yang selalu membuatku tersenyum simpul ketika kulihat kanak-kanak bermain riang bermandikan terangku. Walau tak lama kurasakan kesemuanya. Alunan masa segera menyadarkanku. Kembali harus ku meredup seiring perjalanan panjang bilangan cahaya. Selalu kunanti saat-saat kudapatkan keutuhan benderangku sedikit demi sedikit.

Akulah itu, matahari, bintang, dan bulan. Seutuhnya, semua sekaligus. Kuingkari selalu bahwa segalanya adalah mimpi semu. Akulah kesemuanya itu. Pasti. Selalu kuingin bercahaya kapan saja, seterang benderang mungkin. Kadang memang aku meredup, namun cepat kugantikan dengan sinarku yang lain. Begitu terus bergantian. Lelah tentu saja kurasa, namun semua terbalaskan dengan kesejukan angin surga yang menghembusiku sepoi perlahan. Angin surga yang hanya mau muncul jika kulakukan tugasku dengan cita, cinta, harap, dan senyuman. Keletihan panjangku menguap begitu saja ditiupnya.

Terkadang, kusebut pula diriku Penyinar. Kuhimpun sebanyak mungkin cahaya dari setiap pojokan dunia untuk kumasukkan berjejalan penuh dalam kantong sinarku, lalu kuberlari ke segenap penjuru mata angin untuk menyebarkannya seluas-luasnya. Kantongku tak pernah surut apalagi kosong. Cukup kupejamkan mataku, kukatupkan telapak tanganku, kupinta dengan sepenuh kesungguhan pada kedamaian yang tanpa batas, lalu kujejakkan langkahku seteguh-teguhnya dan mulai melangkah.

Akulah kesemuanya itu. Segala sinaran cahaya, seredup dan sebenderang apapun. Aku kan menjadi keabadian jika kujalani semua ini setepat-tepatnya, setulus-tulusnya.

Tak perlu kau curi-curi pandang ke angkasa mencariku karena aku berkelebatan di sekelilingmu tanpa kau sadari.


The always lock room, 21/01/05
/esfand

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kapan nih ane punya keponakan... kapan ane akan dipanggil om agus?