`the esfand`
“Please deh, aku udah nungguin dari tadi…”
“Meeting tadi alhamdulillah lancar ya. At least banyak ide baru yang muncul.”
“Sulit gimane maksudnya?”
Akui saja, kamu semua pasti pernah menjadi subyek percakapan dengan menggunakan gaya tutur yang seperti itu. Campur kode alias menggunakan beragam bahasa dalam sebuah percakapan. Entah Indonesia dicampur Inggris, Indonesia dicampur Arab, Indonesia dicampur bahasa daerah, atau malah campur aduk tidak jelas bak gado-gado. Hal ini, mungkin, dikarenakan setiap kita terbiasa menggunakan sedikitnya dua macam bahasa sejak kecil. Bahasa nasional dan bahasa daerah orang tua kita atau tempat kita tinggal. Kebiasaan campur kode ini juga yang barangkali memunculkan style-style baru bahasa pergaulan yang yang tidak berasal dari akar bahasa manapun.
Campur kode, ternyata, juga mengenal klasifikasi kasta. Kebiasaan campur kode bahasa Indonesia dengan Inggris menjadi campur kode kelas atas. Penggunanya akan tercitrakan sebagai insan modern, intelek, dan bercita rasa tinggi. Sementara campur kode Indonesia-daerah dianggap sebagai citra masyarakat rendahan dan anti-globalisasi. Anehnya, pengguna campur kode Indonesia-Arab ternyata bernasib tak jauh beda dengan Indonesia-daerah. Yah, apalagi kalau bukan karena anggapan bahwa Barat adalah Dewa Kemajuan yang tak bersaing.
Sayangnya, campur kode lambat laun menjadi salah satu faktor penggerus autentisitas bahasa yang sepatutnya. Maka, muncullah penggunaan kata “secara” dengan esensi baru ala anak gaul metropolis.
Bagi sebagian anak muda: its not a big deal galz…tapi bagi sebagian orang tua: whatta serious problem. Well?
Ciganjur/26/12/07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar