Rabu, 09 Januari 2008

MEET THE HOBBIT IN BACK

Who knows, life begin at start
When the ring goin burn out
And its true,
They sailin through



“Halo, selamat malam.”
“Malam. Bisa bicara dengan Sava?”
”Dari siapa ya?”
”Lui, Lintang Linui.”
”Oke, tunggu sebentar ya, Mas.”
”Ehm, maaf, Mas. Mbak Sava belum pulang ternyata. Ada pesan, Mas?”
”Bilang saja Lui sudah pulang ke Indonesia. Lain kali saya telpon lagi. Terimakasih.”
-------------------------

Hemm, sudah pagi ternyata. Harusnya gadis itu sudah bangun. Begitu biasanya. Semua tahu ia selalu disiplin mengatur jadwal hariannya. Rasa-rasanya tak pernah ia lalai sekali pun dari jadwal yang lazim ia jalani setiap hari. Namun, kali ini rupa-rupanya anomali berpihak padanya. Ia masih terlelap. Selimut tebal merah bermotif bunga kecil itu masih rapat menyelimutinya. Lampu masih terang menyala, jendela juga belum sedikit pun terkuak. Aneh. Padahal udara pagi bersih ala Metropolis (yang setiap pagi tak luput dihirupnya) begini tak akan bertahan lama di luar sana.

Hemm, aroma wangi ini mulai tercium. Teh hijau kental manis, telur mata sapi, nasi putih mengepul, dan irisan dendeng goreng. Tak salah lagi. Sudah berpuluh-puluh tahun aroma ini menguar di pagi hari. Tradisi barangkali. Sebentar lagi langgam pesisir itu pasti akan terdengar juga mengiringi. Nah, itu dia. Langgam Jawa. Bukan langgam biasa, ini pesisir punya. Semacam nada-nada harapan bagi nelayan yang akan membuang sauh dan mencari peruntungan hidup di keluasan samudera. Iramanya bersemangat. Bercampur baur antara harapan untuk mendapat ikan yang banyak dengan doa agar sang nelayan kembali pulang tanpa cela. Hemm, alunannya padu menggema. Menelusup sampai ke akhir harapan. Nikmat sekali.

”Halo.”
”Halo, selamat pagi. Mau bicara dengan siapa?”
”Sava ada?”
”Dari siapa ya?”
”Lui.”
”Tunggu sebentar ya, Mas, saya lihat ke kamarnya dulu.”
”Maaf, Mas, Mbak Sava belum bangun. Saya tidak berani membangunkan, Mas.”
”Oke. Bilang saja Lui sudah kembali ke Indonesia. Lain kali saya telepon lagi.”
------------------------

Sudah tujuh kali dalam tujuh hari aku menelponnya. Ia tak pernah ada. Aku tak tahu di mana ia bekerja kini, sedang datang ke rumahnya bukanlah suatu hal yang sanggup kulakukan untuk saat ini. Belum. Aku belum siap bertemu dengannya. Dirinya yang baru itu. Aku tak punya banyak waktu. Proyek penggalian sesi ke dua akan segera dilanjutkan. Sebelum kembali ke sana aku harus bertemu dengannya.
---------

Entah sudah gelas yang ke berapa. Yang pasti, lelaki itu sudah sejak pagi tadi terdiam disana. Duduk tak jenak sambil sesekali melayangkan pandang pada rintik hujan yang juga tak kunjung reda. Seolah senada dengan aura gundah yang memancar dari wajah sang lelaki di sudut kafe itu. Kalau dilihat dari penampilannya, pasti ia dari kalangan muda yang fashionable. Bergaya dan terpelajar, begitu kelihatannya. Celananya denim hitam, dengan kaus turtle neck hitam, dan syal merah garis-garis hitam. Di depannya tampak secangkir latte, sepiring donat green tea, dan choco caviar.
---------

Tok..tok..tok..
”Mbak, Mbak Sava...”
“Bangun, Mbak, sudah sore. Dari kemarin malam Mbak Sava belum bangun. Belum keluar kamar. Apa ndak lapar, Mbak?”
”Mbak Sava, sudah bangun belum sih, Mbak? Ini sudah menjelang maghrib lho...”
”Kenapa Bi?”
”Ini lho, Pak, Mbak Sava itu dari tadi malam belum keluar kamar juga. Tadi saya lihat dari halaman depan jendela kamarnya belum di buka. Lampu kamarnya juga masih menyala. Bibi khawatir aja ada apa-apa sama Mbak Sava.”
”Wah, aneh juga ya. Mbak Sava itu kan orangnya disiplin. Bangun tepat waktu, makan tepat waktu, pulang kantor tepat waktu. Kalau jam segini belum bangun juga memang harus khawatir kita, Bi. Kalau ada apa-apa bagaimana?”
”Makanya itu, Pak, baiknya bagaimana?”
”Kita ketuk lagi lima kali, kalau masih tidak ada jawaban kita buka paksa saja, Bi.”
”Ya sudah begitu saja.”
Tok..tok..
”Mbak Sava.”
Tok...tok..tok..
“Mbak Sava!”
“Kita buka paksa saja, Pak.”
”Apa boleh buat, Bi...”
Braakkkk.....
------------

Praaanggg.....
”Aughh....”
-----------


”Mbak, Mbak Sava...”
”Mbak Sava, Mbak?”
”Mbak Sava!”
”Mbak Sava......!!!!!!!”
----------

”Kenapa sih kamu harus pergi?”
”Ini kan memang sudah jadi cita-citaku, Va.”
”Memang di sini gak ada proyek semacam itu?”
”Banyak sih, cuman yang gak ada yang lebih dahsyat dari proyek ini. Proyek ini bisa jadi batu loncatan untukku menjadi seorang ahli yang terpandang di Indonesia.”
”Lui......... .”
”Tenang, man, lu tetap sobat terbaik gua. Melo gitu sih, kayak cewek aja lu...”
”Yee...gua kan cuma gak make sense aja, kenapa juga musti jauh-jauh ikutan proyek penggalian aneh semacam itu. Emangnya di Indonesia udah kekurangan lahan apa, untuk digali-gali.”
”Ha..ha..ha..ngaco lu!”
“Gua janji, man, sepulang dari sana kita lanjutin penjelajahan gunung-gunung ini. Rinjani, right?”
”Absolutely!”



Cigajur/9#01#07
How if it happen to ya?

0 komentar: