Kamis, 21 Juli 2011

Rembulan dan Matari





Sabana. Kata itu terus saja diketikkannya pada layar browser notebook hitam penuh gores itu. Sesekali kata itu ia kombinasikan dengan kata kunci lainnya. Hingga larut mulai menguap meradu, ia masih sibuk berselancar dan membuat catatan kecil.

“Siang, Mbak, ada yang bisa saya bantu?”

“Travel ini menyediakan paket tour ke mana saja?”

“Kami bisa mengusahakan ke mana saja yang Mbak mau, sebut saja.”

“Sabana.”

“Apa, Mbak? Itu di mana ya?”

“Terserah saja mau di daerah mana.”

“Ehm, Mbak, Maaf sebelumnya, tapi Sabana itu apa ya? Nama tempat di Indonesia? Atau di luar negeri ya , Mbak?”

“Makasih, Mas, permisi..”

“Lho, Mbak..”

Satu demi satu pintu biro perjalanan yang di kotanya ia ketuk dan masuki, dengan satu tujuan yang sama: mencari paket perjalanan ke sabana. Namun, hingga siang telah berjumpa senja tak juga ada yang memberinya anggukan dan senyum pertanda baik. Mengapa tak ada yang tahu tempat yang ia ingin datangi itu, serapahnya kesal.

Sampailah ia ke sebuah sudut jalan yang tak terlalu ramai. Toko-toko di wilayah itu terlihat lengang, hanya ada beberapa beberapa orang yang melongok sekilas ke etalase-etalase kusam di balik jajaran toko bergaya bangunan lama itu. Bukan, bukan sekadar karena malam mulai menjelang tempat itu terlihat lengang, sepertinya tempat itu memang selalu lengang sepanjang hari. Bukan lengang yang mencekam, apalagi lengang yang bernuansa mistis, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda di tempat itu. Lengang yang anehnya terasa damai sekaligus menenangkan. Bagai berjalan di ruas-ruas jalan negeri antah berantah dalam dongeng pengantar tidur.

Hampir semua toko di sudut jalan itu bercat kelabu, hanya satu yang tidak. Toko itu berada di ujung terjauh ruas pertokoan di daerah itu. Dindingnya bercat kelabu nyaris hitam, tak beda jauh dengan toko-toko lain di sudut jalan itu. Hanya satu yang membedakan: pintu yang bercat merah.

Ke arah pintu merah itulah sedari tadi Diandra terdiam menatap. Seperti ada magnet kuat yang menyeret pandangan dan langkahnya ke toko berpintu merah itu. Ia memang pecinta warna merah, kebetulan pertama. Perlahan ia mulai berjalan mendekat.

“Pintu Merah Travel&Tour: Segala Pintu ke Segala Tujuan Impian” begitu bunyi tulisan yang ada di jendela toko berpintu merah itu. Kebetulan kedua. Meski telah lelah karena sedari pagi berjalan keluar masuk berbagai biro travel yang ada di pusat kota itu, ditambah lapar yang mulai merajalela karena diabaikan, keinginan untuk pergi ke Sabana membuatnya berharap peruntungan ke biro travel yang satu ini. Dan melangkahlah ia ke balik pintu merah.

Wangi sitrus bercampur aroma udara yang asing menyambutnya pertama kali. Takjub. Bagian dalam toko itu ternyata sungguh tak terduga. Alih-alih meja-kursi-komputer standar biro travel lainnya, yang ia temukan adalah taman bunga lengkap dengan kolam ikan dan air terjun mini yang bergemericik syahdu. Sejenak ia urung melangkah semakin dalam. Pemandangan di depan matanya bukan suatu hal yang biasa ia lihat di kantor biro perjalanan pada umumnya. Hamparan rumput hijau empuk, dengan semak-semak bunga liar lengkap dengan buah buni kuning kemerahan serta kolam-kolam ikan yang nampak bagai oase-oase mungil di tengah hamparan rerumputan. Langit-langit toko itu telah dimodifikasi layaknya atap mobil mewah yang bisa dibuka-geser. Langit malam yang berhiaskan tebaran pendar bintang tampak jelas ketika ia menengadah sekilas. Aroma sitrus masih menguar, namun perlahan aroma lain mulai mendominasi. Aroma yang sulit untuk ia terjemahkan. Campuran antara udara yang begitu segar, dengan bau daun kering bercampur aroma matahari pagi serta kumpulan aroma-aroma lain yang berpadu liar namun sangat eksotis dan mistis. Tempat apa ini.. .


“Halo, silakan masuk, ada yang bisa saya bantu?”


Diandra terkesiap dengan kemunculan tiba-tiba dari sosok yang barusan menyapanya. Perempuan. Paro baya. Meski hanya memakai rok tenun dan blus putih polos, sosok itu terlihat anggun dan bersahaja. Ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Diandra merasa nyaman dan percaya.

“Ini biro perjalanan?”

“Yah, seperti yang tertulis di jendela depan.”

“Saya ingin memesan paket perjalanan ke sabana.”

“Tentu, mari silakan duduk di sini.”

Entah kebetulan ke berapa kali ini. Tempat itu ternyata menyediakan jawaban yang dicarinya sejak pagi. Perempuan itu membentangkan permadani kecil ke atas rumput, dengan dua buah ottoman yang empuk sebagai pelengkapnya.

“Mari, duduk di sini.. .”

Dengan kikuk Diandra mengikuti sang nyonya rumah untuk ikut duduk di atas permadani itu yang ternyata lebih empuk dan nyaman disbanding dugaannya semula.

“Nah, coba ceritakan, ke sabana mana kamu ingin pergi?”

“Sabana yang mana saja.. .”

“Sabana yang sebenar-benarnya sabana ataukah tempat berhakikat serupa sabana yang ingin kamu kunjungi?”

“Maksudnya? Memangnya ada tempat yang hakikatnya sama seperti sabana?”

“Biasanya, ada sekian alasan mengapa ada orang yang ingin berlibur ke padang sabana, atau tempat-tempat luas membentang lainnya yang serupa dengan sabana. Percaya atau tidak, suatu kali ada seorang anak muda seusiamu yang datang kemari dan ingin memesan perjalanan ke sabana beku alias padang es di kutub sana. Ketika kutanya apa yang membuatnya tertarik untuk berlibur ke tempat seperti itu sendirian? Ia menjawab ia ingin tahu rasanya menjadi dingin yang sejati. Ia ingin tahu apakah dirinya memang benar-benar sedingin yang ia kira tentang dirinya sendiri. Ketika kutanya dingin apa yang sebenarnya ia maksudkan? Ia menjawab selama ini ia selalu menyakini bahwa ia adalah sosok yang begitu dingin, hingga setiap serat perasaannya dengan cepatnya membeku tanpa sempat ia pahami dan ungkapkan. Ia tak sempurna, padahal ia ingin menjadi sempurna.

“Lalu, pemuda itu jadi pergi ke kutub?”

Perempuan itu hanya tersenyum menjawab pertanyaan Diandra.

“Nah, sabana apa yang ingin kamu kunjungi?”

“Saya ingin ke sabana yang luas. Versi berkali lipat lebih luas dari hamparan rumput di Pintu Merah ini. Sabana yang diapit pegunungan empat penjuru. Sabana yang dipenuhi bunga rumput dan semak-semak buni di kitarannya. Sabana yang udara segarnya bisa dihirup dalam-dalam, hingga mengalir penuh ke setiap sudut jaringan tubuh dan aliran darah. Sabana yang kesunyiannya bisa menjadi tempat untuk kontemplasi dan merenungi kelemahan diri yang tak juga bisa sempurna.. .”

Perempuan itu tiba-tiba bangkit dan beranjak ke bagian dalam toko yang terhalang sekat anyaman bersulur rambat. Hening. Sesaat terlitas sebuah nama dalam pikiran Diandra. Sebuah nama yang berpendaran di kedalaman hatinya setahun terakhir ini. Sebuah nama yang menghadirkan warna berbeda dalam hidupnya. Sebuah nama yang untuknya ia rela menjalani misi pencarian kesejatian bak Kaisar Terakota.

Diresapinya suara gemericik air yang mengalun merdu tanpa peduli balok anda. Dihirupnya dalam-dalam aroma sitrus yang entah dari mana sumbernya. Dirasakannya nyeri yang sejenak menyentakkannya. Nyeri yang timbul oleh kesadaran akan kelemahan yang tak jua berlalu pergi. Padahal ia ingin menjadi sosok yang lain. Sosok yang lebih mengerti, memahami, dan menguasai diri. Ia ingin. Sungguh.

“Kamu pasti lapar, ayo dimakan dulu.”

Dan tiba-tiba saja perempuan itu telah kembali dengan sepiring penuh penganan kecil berwarna hijau, segelas minuman berwarna merah, dan senyum tipis aristokrat yang sejak tadi tak pernah lenyap menghiasi wajah ovalnya.

Kebetulan, lagi, batin Diandra. Perutnya memang sudah mulai perih mengamuk karena tak jga mendapat perhatian darinya. Langsung saja ia ambil sebuah. Kue hijau itu berkulit transparan mirip dimsum udang. Isiannya adalah campuran fla dengan beraneka ragam buah tropis. Ia pikir rasanya akan sedingin es krim, ternyata ia salah, kue itu hangat! Entah bagaimana caranya hingga kombinasi fla dan buah-buahan itu bisa terasa hangat dan sangat enak.


“Mengejutkan sekali.. Bagaimana bisa fla dan buah-buahan bisa menjadi kue hangat yang sangat lezat. Apa nama kue ini, Bu?”

“Mengejutkan? Bukankah itu hal yang biasa saja? Ada banyak hal di semesta kita ini, yang bila dikombinasikan akan berpadu menjadi sajian yang berkali lipat pesonanya dibanding ketika hal-hal pembentuknya berdiri sendiri. Kepaduan itu tak harus satu kutub. Kepaduan juga tak harus satu arah. Coba tengok purnama di atas sana, betapa setianya sang rembulan itu pada kekasih alamnya, matari. Energi yang selalu diresapinya dari matari tak pernah henti ia pendarkan. Mereka mungkin sekilas terlihat tak pernah bersua jalan, tapi kita tahu mereka tak pernah terpisahkan. Masing-masing berjalan sesuai garisnya.

“Yah, mereka sosok yang sempurna, Bu..”


Perempuan itu terdiam dan menatap Diandra, tepat pada mataya. Membuat Diandra sejenak rikuh dan membuang pandangan.

“Cinta itu sempurna. Ketidaksempurnaan itu bukan pada benih cinta yang bertumbuh musim demi musim, melainkan pada proses dalam mengekspresikannya. Sebenarnya, bukan tidak sempurna, hanya prosesnya yang akan selalu berjalan sesuai proses kedewasaan yang sedang dijalani masing-masing pihak. Setiap peluh yang menetes dari setiap usaha yang dilakukan untuk menjadi lebih baik, itulah kesempurnaan. Jadi tak perlu jauh-jauh berlibur ke sabana, untuk menjadi sempurna, bukan? Ngomong-ngomong, tahukan kamu apa yang terjadi anak muda yang ingin mengembara ke kutub tadi?”

“Ia jadi pergi ke kutub?”

“Tidak. Ia memahami, pada akhirnya, bahwa saat ia menganggap dirinya tak sempurna, sebenarnya ia telah menjadi sempurna. Dan akhirnya ia memilih untuk tetap tinggal dan menjalani musim demi musim, bersamamu..”

“Oh, maksudnya? Saya tidak mengerti, maksud Ibu?”

Perempuan itu tetap dengan senyum tipisnya yang semakin lama semakin menyimpan misteri. Sekilas ia menepuk lembut tangan Diandra, dan beranjak kembali ke bagian dalam toko. Lewat tatapan matanya Diandra mengikuti langkah-langkah perempuan itu. Dan, tepat di samping sekat bambu bersulur itu didapatinya sang pemilik nama yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Mata bulan separuh dan senyum manis yang selalu dirindunya.


“Hai”

“Luc, sejak kapan ada di situ?”

“Sejak kamu ada di sini.”

Perlahan Luc menghampiri Diandra, dan tiba-tiba saja ia sudah berbaring di atas permadani tempat Diandra bersimpuh sejak tadi.

“Lihat, purnamanya begitu indah.”

Diandra menengadah. Dari langit-langit toko yang terbuka dilihatnya purnama yang berpijar menawan. Perlahan ia pun ikut berbaring di samping Luc. Lama sekali mereka berbaring terdiam sambil saling menggenggam tangan, menatap rembulan penuh itu. Masing-masing berkelana dalam dunia pikirannya sendiri-sendiri. Hanya satu yang sama, cinta dan harapan agar purnama yang sama selepas malam ini, bisa terus mereka nikmati bersama.

0 komentar: