Kamis, 21 Juli 2011

Kumpulan Cerpen yang Tak Berujung

Tak sengaja menemukan beberapa file cerpen yang sebagian besar hanya berupa pembuka cerita. Entah ide apa yang terlintas saat mulai menulisnya dulu.
***

AIR

Ada sebuah balada di negeri seberang, tentang kisah selukis langit kelam yang berharap seleret warna jingga mencerahinya setiap dini. Ini kisah yang hampir serupa, tentang seekor ikan lumpur yang termangu di tepian sungai. Takjub bersalut cinta, hingga enggan untuk mencampuri.

Sungai itu berkelok indah di tengah padang. Dari jauh pun airnya berkecipak santun lagi gemerlapan berbias matari. Bagai aroma mahluk abadi Transylvania yang konon membuat manusia tertegun terpesona tanpa daya. Dan, ikan lumpur itu pun merasainya.

Suatu ketika, seorang kanak-kanak yang girang menangkapnya di sebuah rawa hutan, tak sengaja menjatuhkannya dari wadah bambu berlubang tampias. Ia pun terpisah seabadinya dari kawanan rawanya, yang entah akan berujung apa dalam wadah sang kanak-kanak itu.

Maka, mengadalah ia disana. Di tepian sebuah sungai yang melulu disarati air berkilau. Itulah saat ketika ia akhirnya merasakan sesuatuyang tak pernah ada dalam otak kecil dan megap insang yang dimilikinya.

Selama hidupnya, yang mengakrabinya hanya warna coklat kehitaman air bercampur lumpur,dan hijau lumut yang melapis permukaan rawa. Tak pernah ia tahu jika ada jenis air lain yang bisa berkilau rupawan seperti yang tersaji di hadapannya kini.

13/6/2009



Jingga Selepas Hujan

Adakalanya hidup serasa berbeda, hari yang satu dengan hari lainnya. Meski tak jarang pula, hidup seolah tak memberikan pilihan untuk sekadar menikmati pelangi yang bercorak lain di setiap hujan usai melepaskan kasihnya. Jadi bagaimana bisa hidup ini dinikmati selezat coklat hangat?

24/6/2009



Di bawah Kilat dan Hujan Ku Mengingatimu


Musim apa kali ini? Berkali-kali kubalik lembar-lembar penanggalan bergambar entah siapa di dinding ruang kerjaku, dengan harap akan kutemukan jawab. Tak jua ada.Musim apa kali ini? Telah berulang kali kutelusuri ruang-ruang maya entah bertuan siapa di layar notebook hitamku, dengan harap akan kutemukan jawab. Tak juga ada. Masih hitungan pekan, harusnya memang belum berganti musim. Mestinya masih semi sajadan tak usah berseling apa-apa.

16/11/2009


Bintang Belantara

Tersesat. Adalah cita-cita dan impian yang tak kunjung berhasil kucapai. Aneh? Tidak, bah. Biasa saja. Sepertinya ada eksotisme yang penuh tantangan jika suatu saataku berhasil mengalaminya. Entah tersesat dalam rimba raya yang dipenuhi beragam penghuni aslinya, entah tersesat dalam keriuhan metropolis yang tak juga enggan menjejali diri dengan artefak-artefak yang artifisial totok, entah tersesat di simpang-simpang penuh cabang di sebuah daerah antah-berantah, atau tersesat di kerumitan jejaring sel-sel cintamu.

1/20/2010



Luc danKemeja Putih


"Apa impianmu,Sa?"

"Keliling dunia,Bu Guru."

"Apa mimpimu,Ric?

"Jadi pengusahakaya, Bu!"

"Kalau kamu,Luc?"

"Punya satulemari kemeja putih, Bu."

"Apa, Luc??"

"Kemeja putih,Ibu Guru..."

Saat teman-temankecilnya bermain gasing dan orang-orangan kertas, ia bermain dengan teriakan dan lemparan sapu ijuk. Saat teman-teman kecilnya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah untuk esok hari, ia sibuk menggelandang dari satu mal ke mal lain. Saat teman-teman kecilnya tertawa-tawa sambil menguyah Anak Mas atau coklat Jago, ia membiarkan dirinya sibuk dikunyah habis oleh tangan-tangan sang bayangan.

20/1/2010


Merah Hijau

"Menurutku,merah akan semakin membuat rumah cinta kita ini semarak dan memancar penuh gairah."

"Tidak, hijau lebih elegan dan menyejukkan."

"Menurut pengalamanku, hijau cepat memudar. Kita harus mempertimbangkan pula faktor udara di sekitar serta energi yang kita harap mampu diterjemahkan oleh sang warna itu."

"Menurutku tidak perlu seperti itu. Cukup kita yakin saja warna ini baik."

"Hmm..."

12/3/2010


Carnival


Musim tak lagi punya nama. Hujan bisa datang kapan saja. Kemarau bisa menyapa sesukanya. Masing-masing tak lagi eksis periodis, alih-alih berjaya segenap bala.

Pagi kali ini dibuka dengan kawanan kabut tipis yang samar dan dingin menusuk. Permulaan hari yang tak biasa. Namun, penduduk Kota Imu telah terbiasa dengan segala keganjilan alam yang terjadi akhir-akhir ini.

Kota ini tak terlalu besar. Hanya sebuah kota kecil di tepian sebuah danau. Tak banyak yang merantau, kebanyakan memilih untuk sepenuhnya hidup dan mengakhiri hidup di tempat ini. Sepertinya, tak ada yang sanggup tinggal jauh dari udara sejuk bercampur aroma segar buah jeruk; segala kicau burung yang tak selalu berdiam nyaman di pucuk pepohonan; atau dari danau dengan airnya yang hijau-biru kemilauan. Tak ada yang ingin jauh dari rumah.

Pagi yang biasa saja, tak jauh beda dari sebelumnya. Kedai-kedai dipenuhi aroma harum teh jeruk dan roti baru. Toko kelontong dipenuhi pembeli yang sibuk memilih pakis hijau dan aneka jenis jeruk yang memang tumbuh subur di kota ini. Toko penjual ikan pun tampak ramai menjajakan lais, bilih, haruan,dan aneka ikan air tawar lainnya.

6/8/2010

1 komentar:

penakayu mengatakan...

kemeja putih. hem ya ya. Tafsir semiotika :-)