`the esfand`
“Perlawanan terhadap kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”
(Milan Kundera)
Kongklusi
Identitas dalam konteks kajian budaya bukanlah suatu keadaan tetap, yang akan bercita rasa sama bila dipotret dari berbagai sudut. Melainkan suatu bentuk proses yang akan terus berotasi dan berevolusi, namun tanpa kehilangan keasalannya.
Produksi Tanda (Direncanakan) Sebagai Manifestasi Modernitas
Apa lagi yang harus dijelaskan? Perempuan memang benar-benar ciptaan Allah yang memiliki spesifikasi istimewa. Maktub. Prahara dimulai ketika kesetaraan martabat perempuan direnggut paksa. Alamiah saja jika setelah itu bola salju perjuangan perempuan mulai bergulir mengitari dunia.
Anehnya, tetap saja ada pihak-pihak yang merasa sangat berkepentingan untuk tetap dan selalu menjadikan perempuan sebagai kelas kedua tanpa ada pembedaan obyektif. Barangkali, hal tersebut dikarenakan pengaruh yang kuat pada mitos “dosa perempuan” yang di dunia barat dipercaya sebagai sebab diusirnya nenek moyang manusia dari surga, sehingga para lelaki menjadi obsesif arogan untuk menguasai dunia sendirian. Sungguh diluar cita rasa Islami. Sekian upaya mulai direncanakan dengan sistematis agar masyarakat dan perempuan itu sendiri tetap mengamini posisi perempuan sebagai pihak yang hanya memiliki “setengah pikiran” serta melupakan Dan, strategi bermain tanda pun dipilih sebagai alat merubah dunia perempuan.
Charles Sanders Pierce, ahli filsafat dan tokoh terkemuka semiotika modern dari Amerika, membagi tipologi tanda (dalam kaitannya dengan objek) menjadi tiga hal, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah segala sesuatu yang dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Hubungannya terletak pada tingkat kesamaan atau kemiripan. Misalnya, foto mengindikasikan objek yang tergambar di situ. Indeks merupakan tanda karena hubungan sebab-akibat, misalnya, asap menunjukkan api. Sedangkan simbol adalah tanda karena hubungan kesepakatan atau konvensi. Mengangguk tanda setuju, menggeleng berarti tidak (berbeda dengan di sebuah daerah di Eropa Timur yang mengartikan anggukan sebagai penolakan, dan gelengan sebagai persetujuan).
Tanda merupakan suatu hal yang secara mendasar memang bertebaran di sekitar ruang hidup manusia. Dalam perkembangan selanjutnya (ketika manusia akhirnya menyadari bahwa dalam suatu formulasi yang tertentu, tanda dapat menjadi senjata efektif dalam mempengaruhi ingatan manusia), tanda mulai lazim dipergunakan dalam mempengaruhi kesadaran massa yang berujung pada hegemoni masal cara berpikir. Ada tiga hal mendasar dari karakter dasar perempuan yang dijadikan fokus bidikan, yaitu: (1) obsesif pada keindahan; (2) dominasi perasaan yang kuat; dan (3) perbedaan fisik yang mencolok. Modernitas menjadi tema utama yang membalut ketiga hal tersebut.
Pada beberapa era kebelakang, strategi yang dipilih adalah kecenderungan “merumahkan” perempuan agar tidak memenuhi amanahnya untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan umat. Tiga fungsi manusia di dunia (abd, duat, dan khalifah) dipotong hanya menjadi hamba “saja.” Padahal seorang Umar bin Khatab saja tidak berani melakukan hal serupa itu. Dalam catatan sejarah Indonesia, perjuangan perempuan belum pernah bisa total dan berkelanjutan dalam memenuhi kewajiban sosialnya. Ada saja yang menjadi penyandungnya.
Modernitas lantas dianggap menjadi tema sentra yang efektif dalam meminggirkan perempuan hingga lalai pada sekian tanggungjawab sosialnya. Produksi dan reproduksi tanda yang mulai intensif dilakukan. Produksi simbol. Industri life style menjadi pabrik paling produktif dalam memproduksi simbol. Life style yang dibranding bercita rasa urban yang kental dengan nuansa mix culture, yang pada akhirnya menjadi budaya baru yang tercerabut dari akarnya. Roda industri disetel berakselerasi tinggi, up to date, high context. Senantiasa mengikuti tren terbaru dari setiap produk gaya hidup adalah simbol kemajuan, kemapanan, dan kecerdasan. Internalisasi kesadaran untuk senantiasa mengikuti perkembangan gaya hidup terbaru ditebar melaui beragam media dan kesempatan. Sampai akhirnya, gaya hidup yang “modern” menjadi “ideologi” baru perempuan Indonesia.
Proses memposisikan diri seolah ideologi itulah barangkali yang oleh Anton Kurnia disebut sebagai organized forgetting, rekayasa ingatan yang terencana. Sejarah memang ditangan mereka yang memiliki kuasa untuk merekayasa. Lantas, adakah dampak signifikan dari rekayasa tersebut? Pastinya ada. Misalnya, perempuan menjadi semakin disibukkan dengan pengejaran simbol semata sebagai indeks prestice dan status sosial, bahkan menjadikan semua itu sebagai tujuan pencapaian kesuksesan dunia. Perempuan juga semakin tidak menyadari betapa tajuk-tajuk keindahan yang selama ini menjadi bungkus dalam “mengemas” isu perempuan sesungguhnya tidak lebih dari sekedar strategi komersialisasi an sich. Di lain sisi, organized forgetting sangat berimbas pada paradigma berpikir kaum perempuan dalam memandang diri dan masyarakat sosialnya. Kepedulian berlebihan tanpa sekat pada perkembangan gaya hidup pada akhirnya mampu menggerus sisi empati dan kepedulian pada sesama, pun semakin memperluas area narsisme pada ruang hati dan pikiran.
Kedepannya, program-program gender mainstreaming yang digelar oleh pemerintah maupun elemen masyarakat terkait harusnya lebih implementatif lagi pelaksanaannya, agar paradigma memandang perempuan sebagai second line an sich akan tersibak perlahan oleh pemahaman baru bahwa dunia tidaklah diciptakan dengan parameter yang sexist sehingga memenangkan hanya satu jenis kelamin saja.
-Tulisan lama juga, lg males nulis niy...hehe.---
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar