`the esfand`
Sambal apa ini? Mengapa sambal sepedas ini menjadi sedingin beku ketika masuk kedalam mulutku. Di tengah nuansa dingin itu tiba-tiba aku teringat pada Ji. Pada kengototannya untuk menjalani hidup barunya. Pada keteguhannya untuk meninggalkan semua yang ia miliki, demi untuk hidup barunya itu. Demi Ra. Aku semakin menggigil. Terang saja aku tak rela Ji meninggalkan begitu saja semua orang yang menyayanginya. Meninggalkan Bunda. Hanya demi dunia diliput gelap yang terlihat terang benderang berjuta sensasi itu di matanya. Tak juga aku bisa memahami. Aku tahu itu hidupnya, pilihannya. Aku tak pernah mengerti, sejak kapan ia beranggapan bahwa ia bukan lagi Ji yang biasa, seperti layaknya perempuan lain. Aku tak pernah melihat kecenderungan itu padanya. Entah apa pasal persepsi dan keyakinan itu menghinggapi dan mencengkeramnya kuat-kuat. Mungkin karena Ra. Mungkin. Atau karena Ayah? Atau karena kesibukan Bunda? Dingin itu kian menusuk setiap kali aku gagal mencari jawabnya.
Dingin. Sekian tahun aku hidup bersamanya. Dingin. Aku sudah merasa begitu mengenalnya. Dingin. Kupikir aku tahu ysng terbaik untuknys. Dingin, menusuk. Dan, kini aku kehilangan Ji…Lantas selama ini apa yang kuanggap kukenali itu?!
Dingin itu makin meradang di otakku. Hampir saja kurasa meregang batas ruang waktuku dengan kenyataan, ketika tiba-tiba saja kurasakan sentuhan halus di pundakku…
“Silakan diminum, Mas, minuman penutupnya.”
Ternyata pelayan itu. My savior. Di depanku sudah tersaji kendi dari tanah liat bakar berwarna hitam mengilat. Cuman kendi, tanpa gelas. Kuintip dari lubang di atasnya yang tak berpenutup. Bening. Air putih rupanya. Kuteguk langsung tanpa jeda. Angin semilir tiba-tiba saja menghembusku saat teguk terakhir kutandaskan. Sejuk sekali sepoinya. Kesejukan yang terasa syahdu sekaligus sendu. Perlahan aku mulai menangis. Ternyata aku belum mengenal Ji, adikku sendiri. Ternyata aku hanyalah seorang Raga yang tak tahu apa-apa tentang keluarganya. Ternyata aku bukan siapa-siapa….
Usai membayar semua hidangan yang kusantap (lagi-lagi pelayan itu muncul tanpa kuminta, menyodorkan bill begitu saja, dengan senyuman tentunya, dan berlalu) aku melangkah keluar. Menapaki jalan berkerikil yang tertata rapi sebagai penghubung dengan jalan raya di ujung depan. Aku ingin berjalan saja. Lurus entah kemana. Berharap menemukan keping-keping harapan dan kesempatan yang barangkali tercecer di bagian lain duniaku. Hidup memang sekeras karang, terkadang. Namun, semua itu kuyakin bukan untuk mengeraskan hati dan pikiran pula….(TAMAT)
Ciganjur, 27#10#2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar