Kamis, 18 Oktober 2007

DIGLOSIA AMNESIATIC



foto: doc pribadi
`the esfand`

Pernah gak kamu dengar celetukan seperti ini, ”Yah, cantik-cantik kok logatnya ngapak ya?” untuk mengomentari seorang gadis yang cantik tampilan fisiknya, namun dialek yang digunakan dalam berbicara adalah dialek khas masyarakat Tegal, Kebumen, Cilacap, Banyumas, dan sekitarnya yang sering disebut dialek ”ngapak”. Gadis tersebut biasanya akan dipersepsikan sebagai seorang yang ndeso, sederhana, tidak luas wawasannya, serta segla persepsi minor lain yang biasa dilekatkan pada gadis-gadis desa lainnya.

Bandingkan dengan seorang gadis dengan tampilan fisik yang sama, berbicara hal yang sama, ragam bahasa Indonesia yang sama, namun menggunakan dialek ala Jakarta. Maka, subyek tutur tersebut pastilah akan dipersepsikan sebagai seorang gadis yang modern, gaul, dan dianmis.

Gak adil banget emang kesannya, tetapi hal semacam ini emang masih sering dan biasa terjadi di masyarakat kita. Dalam istilah kebahasaan, peristiwa bahasa seperti ini disebut ”Diglosia” yang artinya sebuah situasi yang menempatkan variasi bahasa tertentu dalam peran yang lebih tinggi dibanding variasi bahasa yang lain.

Pada mulanya, aku yakin kalau sebenarnya bahasa tercipta semata-mata sebagai alat berkomunikasi, agar para manusia bisa saling memahami maksud hati secara riil. Lambat laun bahasa mulai mengenal pakem dan teori, bahkan mulai mengenal kelas dan strata. Verbalitas maksud hati tidak lagi dianggap sempurna ketika inti tersampaikan dengan baik, namun juga harus disertai cita rasa yang tidak kalah tinggi kualifikasinya.

Kejujuran dan kedalaman maksud hati tidak lagi dihargai mentah-mentah saat ia diverbalkan. Ia haruslah bersalut sekian tingkatan cita rasa bahasa sehingga dipandang elok dan rupawan.

Di sekitar kita banyak dijumpai bahasa-bahasa yang mempunyai berlapis tingkatan subyek tutur, ataupun dialek bahasa yang melejit menjadi ordinat dari dialek bahasa yang lain. Komunikasi menjadi hal yang tidak semudah awalnya. Kini ia adalah bagian dari produk ”etika” yang mengenal kelas, seperti halnya produk-produk lain dalam pola interaksi masyarakat kebanyakan. Manusia tidak lagi dihargai secara subtansial, namun juga dari kemasan artifisialnya.


Ciganjur, 18#10#07 ditemani J-Rock dan Internasionale

1 komentar:

penakayu mengatakan...

judule itu loch :-)

kalo orang banyumas nggaya ke jakarta bilangnya gini.

"lo tahu gak gw mabuk, gw dah minum tiga gendul" ^_^

cantik ngapak. jujur ya, aku ndiri juga masih negerasa gimana gitu. tapi istilahmu di judul itu oke punya. sep tetep nulis.