`the esfand`
Senja 1
Aku masih disini, duduk tak jenak di lantai atas rumah kontrakanku. Merapi tampak samar di utara sana. Awan putih bercampur kabut perlahan terlihat mulai menutupi pandanganku. Entah apakah ia malu ataukah enggan terlihat oleh beribu pasang mata jika benar-benar ia akan memuntahkan segenap isi hatinya seperti pemberitaan santer di berbagai media akhir-akhir ini. Senja ini kembali aku teringat cinta. Bicara cinta memang paling pas saat senja mulai membentangkan semburat jingganya. Cinta kali ini adalah kesetiaan. Banyak orang yang ternyata menyandarkan kesetiaan dan loyalitasnya karena ia cinta. Kadangkala cinta yang begitu saja, kadangkala pula cinta yang dipaksa untuk seolah terlihat begitu saja. Istri setia pada suami, suami setia pada istri, seseorang setia pada tambatan hatinya, seseorang setia pada majikannya, seseorang setia pada barang kesayangannya, kawan setia pada sahabatnya, pelanggan setia pada barang kegemarannya.
Mengapa kesetiaan itu begitu utuh diberkan ? baik utuh tulus maupun utuh palsu. Mungkin memang begitulah cinta. Tanpa perlu ditanya alasannya. Setia karena cinta. Setia untuk cinta. Setia demi cinta. Sesekali buahnya kegembiraan, kedamaian, ketentraman. Lain waktu buahnya dendam, angkara, benci, lara, nestapa. Jangan salah, kadangkala pula setia pada cinta adalah sebenar-benarnya penyebab segala kegalauan dunia. Karena cinta kesetiaan diberikan. Karena cinta pula ketidaksetiaan ditampilkan. Jadi, apakah sebenarnya cinta itu setia ayau tidak setia ? mungkin hanya senja yang tahu jawabnya.
Senja 2
Kali ini gabungan ruang waktu membawaku ke tempat ini. kolam ikan dengan semburan air mancur lima belas menitannya. Suasana sekitar kolam ini memang terasa sejenak menentramkan. Bagaimana tidak jika disekitarannya pohon palem setengah dewasa tumbuh rapi berjajar seolah ingin segera menaungi. Kolam ikan ini menjadi bagian halaman depan masjid kampusku. Kebetulan, senja mulai menghampiri. Karen acinta pasti, karena saat goresan jingga tipisnya mulai menyaapa, maka seperti biasa aku pun teringat cinta.
Cinta adalah harapan. Berapa banyak orang yang menggantungkan hasrat hidupnya pada cinta ? berapa banyak pulakah orang yang menitipkan harap impiannya pada cinta ? mungkin banyak, mungkin sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Aneh, manusia memang terkadang merasa nyaman ketika ia telah menitipkan impiannya pada gantungan langit yang biru membumbung tinggi, pada tiup angin yang selalu menghembusi, bahkan sekedar pada pohon tinggi di depan rumah. Pada cinta. Apakah impian, harap, dan cita-cita memang selalu harus digantung setinggi-tinggi galah ? kenapa tidak boleh ia dipendam sedalam-dalam galah, atau disimpan serapat-rapat hati ? mengapa selalu ditempatkan di ketinggian yang pandangan mata saja tak mampu menjangkau ?! ah, hidup ini memang penuh dengan stigma, persepsi, dan pemaksaan paradigma. Mengapa tidak dibiarkan selembut kapas ? seputih salju ? agar tidak penuh kenaifan yang dipaksakan, bahkan diatasnamakan cinta. Apakah cita dan harapnya karena benar-benar cinta ataukah karena tidak ada lagi tempatnya menyandarkan harap kecuali pada sebentuk cinta yang dimensinya dimensi luar dunia.
Senja 3
Cinta adalah pengorbanan. Ketika mencinta, siap-siaplah untuk pula berkorban. Karena hidup memang bukan keindahan abadi, segalanya seperti pancingan saja menuju kegalauan yang lebih lagi. Berani mencinta, berani pula berkorban. Ketika kedamaian bahagia yang menghampiri, bersedialah untuk berkorban menjaganya, merawatnya, menghidupinya. Dan jikalau goresan luka sebelah bagian yang ada, maka bersedialah pula untuk berkorban melepaskannya demi kedamaian dalam bentuk lain. Mencinta dengan segenap hati sama halnya dengan menyakiti hati segenap jiwa pula. Mencinta adalah menggores. Semakin dalam cinta, semakin dlam goresan pula. Maka akan semakin terasa cinta.
Kali ini bukan senja akibat kepulangan mentari pada peraduannya, kali ini senja itu di hatiku. Terlihat jelas jingganya, sejelas ketika kupandang di tepi kolam kemarin lusa. Senja ini karena goresan pertama kudapat.
Karena cinta, kubiarkan saja sembilu yang menggoresku demi bahagianya. Mengapa cinta seringkali disalahkansaat datang menyapa dua insan ? padahal ia datang karena karunia. Mengapa pula akhirnya ia yang dipilih menjadi alasan perpisahan, padahal ia tidak tahu menahu tentang itu. Ia datang karena karunia, tidak ada maksud lain.
Senja kali ini benar-benar mengantarkanku pada dunia baru, yang menyebut namanya adalah kesalahan besar. Ingatan cinta akannya terhapus. Dihapus paksa. Biarlah.
Senja 4
Menurtku tidak ada yang aneh duduk di sini. Di pinggir jalan Kaliurang yang begitu padat dan silang sengkarut. Sumpah, jalan ini sering meninggikan emosiku karena ulah para pengendara yang hanya tahu menarik gas sekuat mungkin, asal selip asal salip. Berbekal seplastik kecil jamur goreng dan secup teh Tong Ji yang kubeli di toko sebelah, aku duduk begitu saja di trotoar pinggir jalan sambil mengunyah dan menyeruput. Bising. Aku ingin merasakan sensasi kesunyian di tengah keramaian yang tempo hari menjangkiti kakak perempuanku. Satu menit, dua menit, tiga menit. Mengapa telingaku masih dipenuhi bising lalu lalang kendaraan yang melintas dan bukannya kesunyian yang perlahan merasuk. Aku masih merasa keramaian di tengah keramaian. Bagaimana mungkin seseorang bisa merasakan keheningan di tengah campuran berbagai macam suara yang hampir 90 persen tidak bisa dibilang merdu ini ? aku tidak tahu caranya. Tetapi buktinya kakakku bisa.
Menurutnya, keramaian sekitarnya tiba-tiba beranjak semakin sunyi. Dirinya pun semakin bergerak kosong tanpa rasa, seperti robot mekanik yang bergerak karena digerakkan, berhenti karena dihentikan, hancur karena dihancurkan. Kesunyian itu pun semakin beranjak dalam menjadi ketiadaan. Benar-benar tiada apapun. Tiada rasa, tiada suara, tiada apa saja kecuali ketiadaan itu sendiri. Beruntung serabut ingatannya ada yang mencuat keluar dunia ketiadaan itu. Cuatan serabut itu yang tanpa sengaja tersapa cinta. Cinta bermuara kerinduan padaku dan kakak pertama kami. Dan terselamatkanlah ia (sementara) pada dunia entah apa namanya itu. Anehnya, aku justru ingin mersakan barang sedetik dua detik sensasi ketiadaan itu. Namun sampai detik ini, walau aku sudah duduk selama kurang lebih 45 menit menjelang, tak sedikitpun kesunyian itu menghampiri.
Dan akhirnya aku harus menatap senja lagi. Ternyata, dimana saja nuansa senja itu sama. Kedatangannya seolah menyusupkan suasana sendu, haru biru yang amat sangat. Apa karena terang benderang sang surya yang harus digantikan temaram rembulan ikut meredupkan perasaan penghuni semesta ini pula ?
Karena tak kunjung juga rasa yang ingin kucicipi itu tiba, akhirnya aku harus beranjak pergi. Perlahan sepeda mini merah pinjaman kawanku ini kukayuh pulang. Mungkin aku harus mencoba di tempat lain, di keramaian model lain. Bukankah tidak sulit mencari pusat keramaian di sekitar kita saat ini ? bahkan tempat yang menawarkan kedamaian adalah manifestasi keramaian dalam bentuk lain.
Jadi, senja kali ini tentang cinta apa ? tentang cinta yang menjadi kenangan terindah. Betapa suram dan menderitanya mereka yang tidak punya kenangan indah dalam hidupnya, bahkan hanya sekedar kenangan sesaat. Karena bagiku dan mereka yang senasib denganku, indahnya hidup itu ya saat kenangan akan indahnya hidup menghampiri ruang ingatan.
Kurasa, aku akan mulai merangkai cerita tentang cinta di saat yang lain. Saat fajar menyingsing, atau saat panas sedang terik-teriknya, bahkan saat guyur hujan sedang deras-derasnya. Kurasa aku akan menemukan cinta dengan rasa yang lain.
Yogyakarta, 29#04#05
NB: ini tulisan lama, pas masih kuliah githu deh...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar