Jumat, 14 September 2007

RUMAH SAMBAL (2)



~the esfand~


“Semoga kebaikan datang dari segala arah, Mas.”
Aku tertegun dua detikan. Sapaan pembuka yang rasa-rasanya baru kali ini kudapatkan ketika bersantap di sebuah rumah makan. Hemm, apa kira-kira maknanya. Belum sempat aku memikirkannya panjang, pemuda tadi dengan sigap dan sopan menyodorkan selembar kertas kosong. Apa lagi sekarang.

“Silakan, Mas, tuliskan di kertas ini perasaan yang paling hebat yang ada dalam diri Mas saat ini.”
“Haa? Maksudnya? Apa ini semacam bonus ramalan apa bagaimana? Nanti saja lah, saya minta daftar menunya saja dulu.”
“Bukan, Mas. Ini memang tradisi di Rumah Sambal, karena dari ungkapan hati yang ditulis pengunjung di kertas yang kami sodorkan itulah kami bisa meramu menu makanan yang cocok dengan suasana hati mereka. Tidak ada daftar menu disini, Mas. “
Sekali lagi aku tertegun. Bercampur antara heran dan aneh. Yasudahlah, apa salahnya juga. Hitung-hitung menambah pengalaman kulinerku.
“Oke. Sini kertasnya.”

Maka, mulailah aku menulis. Sesaat, aku cukup bimbang. Rasa manakah yang dominan ada di hatiku sekarang. Apakah cemas karena sakit Bunda Vinka semakin menghebat. Ataukah galau karena akhir-akhir ini tak satu pun artikel yang kukirimkan ke media cetak lolos dan dimuat. Apa barangkali serpihan bahagia itu? Serpihan yang sampai padaku tadi pagi. Datangnya diiringi lagu terbarunya Letto, Sebelum Cahaya. Meski hanya berupa serpihan asa, aroma kehangatannya masih bisa kuhirup hingga kini. Sedang apa gerangan ia.

“Sudah, Mas?”
Teguran halus pemuda tanggung itu menyadarkannku. Nampaknya aku memilih serpihan itu saja. Entah. Maka, beginilah yang kutulis di selembar kertas memo itu.

Cinta, yang seperti coklat. Pahit sekaligus manis. Cinta, yang seperti candu. Berbahaya sekaligus menggoda. Cinta, yang seperti Arumanis. Legit sekaligus hampa. Cinta, yang seperti virus.

Tanpa kulihat lagi, kuserahkan kembali memo itu pada pelayan yang sabar menungguku. Ia segera masuk ke bilik yang menurut dugaannku adalah dapur. Tak berapa lama ia kembali lagi menuju tempatku bersila. Cepat sekali, pikirku.

“Sambil menunggu sajiannya siap, silakan, Mas, dinikmati dulu minuman dan kue khas Rumah Sambal. Rasakan, dan nikmati.”

Ia lantas meletakkan satu toples kecil dari kaca beling yang berisi semacam kue kering dan segelas minuman berwarna merah bata. Entah apalah itu. Dan, pemuda itu kembali berlalu.

Hening sekali. Sangat. Mungkin karena cumin ada aku di ruangan ini. Kecil sebenarnya, cuman karena tak ada satu pun perabot kecuali beberapa hamparan tikar bambu itu yang menjadikannyab terasa luas. Aroma hangat yang kurasa sejak awal menginjakkan kaki tadi masih saya menguar. Wangi yang menjelang magis.

Rasa lapar sekali lagi menjadi raja. Perlahan kubuka tutup toples kecil tadi. Benar, kue kering. Bentuknya segi empat, dengan guratan-guratan dipermukaannya. Teksturnya kasar, hemm…aromanya! Begitu mirip dengan aroma pedas hangat tadi.

Krress…kugigit sedikit di tepinya. Hangat. Rasa rempah-rempahnya begitu terasa. Mirip seperti kue spechulass asal Belanda yang sering kubeli di swalayan. Namun, yang ini lebih nikmat dan harum. Dua gigitan sudah. Dua gigitan yang tiba-tiba melayangkan ingatanku padanya.
***
“Kamu ngertiin aku dong, Ga! Selama ini aku selalau ikut apa mau kamu, apa kata kamu. Tapi, kali ini biarkan aku sendiri yang memutuskan. Ini hidupku, Ga. Masa depanku. Kamu boleh menjadi inspirator dan pengantar aku mencapai semua ini. Tapi, kamu gabisa jadi aktor yang menjalani semua ini. Ini hidupku, Ga….”
“Aku tau, Ji, aku ngerti. Aku Cuman gabisa biarin kamu menghancurkan hidupmu sendiri.”
“Menghancurkan, Ga? Gausah terlalu over, Ga. Sok mendramatisir. Semua tuh gak seperti yang kamu bayangkan. Dunia ini tidak segelap yang kamu pikir. Kamu dah kenal aku sejak kecil, harusnya kamu ngertiin dan hargain aku, Ga. Suatu hal yang selama ini mungkin ga pernah ada dalam kamus hidup kamu.” (bersambung)

montong 57#14#09#07

0 komentar: