Senin, 17 September 2007

RUMAH SAMBAL (3)



`the esfand`

“Silakan, Mas, disantap hidangannya…”
Huff…suara pelayan yang datang membawa makanan untukku itu seolah menarik lenyap ingatan tentang Jiwa tadi. Rasa lapar yang tadi sempat terlupakan, muncul lagi dengan tiba-tiba. Dasar perutku memang sudah sangat-sangat lapar sejak tadi.

“Ini nama makanannya apa, Mas?”
“Tidak pernah ada nama untuk masakan-masakan disini, Mas. Silakan saja ikuti apa yang Mas dengar dari sekeliling Mas. Atau bahkan dari diri Mas sendiri.”

Pelayan itu pun berlalu lagi…
Kubuka mantap tudung saji dari bambu yang menajdi penutup hidanganku. Takjub. Biasa saja sebenarnya, namun entah mengapa terlihat begitu indah, mewah, dan istimewa.
Ada nasi sebakul penuh. Nasi pandan, dengan kombinasi gaya Sunda lewat taburan oncom di atasnya. Ada Ca daun dan bunga genjer serta jamur merang. Ada aneka kerang rebus, mulai dari kerang hijau, kerang macan sampai kerang dara. Terakhir, satu gelas besar es teh manis pekat. Cuma itu? Ya, cuma itu. Aku langsung berpikir, mana sambalnya? Tapi, ya sudahlah…yang penting makanan sudah datang dan aku memang sudah sangat lapar.

Hemm…sederhana namun kesedapannya terasa mengalahkan hidangan-hidangan lain yang pernah kusantap. Tepat setelah tetes terakhir es teh manis kutandaskan, pelayan itu datang lagi.

“Ini penutupnya, Mas. Sambal cabai hijau plus terasi segar.”
“Ha…?”
Apa maksudnya ini? Mana bisa sambal dimakan tanpa teman begini alih-alih jadi hidangan penutup! Belum sempat aku mengeluarkan protes, pelayan itu lagi-lagi berlalu tanpa sedikit pun penjelasan.

Aku benar-benar ragu memakannya. Selain karena aku yakin tidak bisa menahan pedasnya, juga karena gelas es teh manis pekat tadi telah benar-benar habis tak bersisa. Diliput bimbang, perlahan kuangkat wadah sambal yang terbuat dari kayu itu, kudekatkan sedikit ke hidungku. Aku hanya ingin menghirup aromanya. Pertama kali, terasi yang menusuk hidungku. Rupanya terasi segar, tidak digoreng atau dibakar. Kutaksir dari jenis rebon berkualitas. Kedua, cabai hijau mulai menghinggapi indera penciumanku pula. Pedas, namun ringan. Terakhir, ada satu aroma yang asing. Asing namun mampu mendominasi seluruh komposisi yang ada. Harum.

Kuletakkan wadah itu ke atas alas bambu kembali. Kuobrak-abrik dengan sendok kayu yang ada di depanku. Kucari-cari bahan apakah gerangan yang memancarkan aroma harum tadi. Otakku terus mengumpulkan alternatif dugaan bahan-bahan yang biasa menjadi bahan dasar sambal. Jeruk nipis? Kacang sangrai? Gula jawa? Tomat Lombok? Apa? Tak satu pun bahan dasar selain cabai hijau dan terasi yang kutemukan di dalamnya. Apa? Apa?!

Diliput penasaran yang sangat, kusendok sedikit sambal itu kemulutku. Tak ada pedas. Benar, tak ada pedas! Cuman ada dingin. Dingin yang menusuk-nusuk seluruh langit-langit mulutku. Dingin yang mulai mengalir masuk ke dalam kerongkonganku, trus saja mersuk ke dalam tiap organ pencernaan tubuhku. Tidak, tidak hanya sekedar itu. Terasa. Terasa ke jantung, paru-paru, dan hati kini. Dingin. Dingin. Bukan dingin salju, bukan pula es batu. Ini dingin yang mirip rasa gigil ketika aku dilanda demam. (bersambung)

0 komentar: