Muthia Esfand, S.S
Siapa bilang orang yang tidak memiliki gelar sarjana tidak bisa menjadi dosen, Ajip buktinya. Walau tanpa berbekal ijazah, Ajip diangkat menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, pada tahun 1967. tahun 1981 ia diangkat menjadi pengajar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku Osaka, Jepang. Selain itu, ia juga merangkap sebagai guru besar luar biasa pada Tenri Daigaku di Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1983-1996).
Ajip lebih dikenal sebagai satu diantara sedikit sastrawan Indonesia yang gigih memajukan dunia sastra daerah. Ia menjadi pencetus penganugerahan hadiah sastra Rancage bagi para penulis sastra daerah. Ia sangat bangga dengan tradisi Rancage tersebut karena menurutnya tidak ada hadiah sastra di Indonesia yang bisa bertahan sepuluh tahun berturut-turut tanpa henti seperti Rancage. Rancage sendiri diambil dari bahasa Sunda kuno yang berarti aktif kreatif.
Ide hadiah sastra Rancage tersebut tercetus tahun 1988. Pada waktu itu Ajip genap berusia setengah abad, dan beberapa kawan-kawannya di Bandung mendesak untuk mengadakan syukuran perayaan. Ajip menolak. Tanpa disangka kawan-kawannya tersebut malah menerbitkan buku Ajip Rosidi Setengah Abad yang diluncurkan di Gedung Merdeka Bandung tepat di hari kelahirannya, 31 Januari. Semua itu tentunya karena keterlibatannya yang mendalam di dunia sastra, khususnya sastra Sunda.
Lima tahun pertama pemberian Rancage, segala pembiayaan untuk penyelenggaraan dan hadiah disisihkannya dari uang gaji mengajar di Jepang. Oleh karena itulah, hanya ada satu kategori penghargaan di tahun pertama tradisi Rancage, yaitu untuk pengarang buku Sunda terbaik. Kategori Rancage bertambah lagi di tahun keduanya, yaitu untuk pengarang yang berjasa. Beruntung, akhirnya ada seorang pemerhati yang memberikan sumbangan hadiah untuk kategori karya dan jasa, yaitu Bapak H.I. Martolagawa dengan syarat nama beliau tidak disebutkan sebagai donatur. Untuk juri, Ajip hanya perlu membayar honorarium bagi juri sastra Jawa dan Bali, sedangkan untuk sastra Sunda ia sendiri yang menjadi jurinya. Jika di tahun 1989 hadiah uang bagi pemenang Rancage adalah satu juta rupiah, kini masing-masing pemenang untuk setiap kategori berhak memperoleh uang lima juta rupiah. Sejak tahun 1994 penghargaan sastra daerah tersebut mulai diberikan pula pada pengarang sastra Jawa. Penghargaan bagi pengarang sastra Bali mulai dijangkau pada penyelengaraan ke-10 di tahun 1999.
Setiap tahunnya, ia meminta tolong pada kawan-kawannya untuk membelikan buku-buku sastra daerah (khususnya Sunda) yang terbit pada tahun yang berjalan. Karya yang masuk penilaian memang yang berbentuk buku karena bila diperluas sampai ke karya sastra yang ada di majalah Ajip sangsi sanggup mengelolanya. Pengumuman pemenang disampaikan setiap tanggal 31 Januari, bertepatan dengan hari kelahirannya. Satu hal yang menarik, peraih Rancage di setiap tahun penyelenggaraannya berasal dari berbagai angkatan usia. Misalnya, tahun pertama dan kedua peraihnya adalah seorang sastrawan sunda yang lahir tahun ’30-an, tahun ketiga malah diraih oleh generasi kelahiran tahun ’20-an. Tahun 1992 diraih oleh pengarang kelahiran ’50-an.
Melihat pengarang yang menulis dalam bahasa Sunda selalu ada di setiap tahunnya, Ajip merasa sangat heran. Pasalnya, jumlah honor yang diterima oleh para pengarang yang menulis dalam bahasa Sunda sangatlah kecil dibandingkan honor pengarang berbahasa Indonesia. Akan tetapi, tetap saja ada yang menulis dalam bahasa Sunda. Menurut Ajip, semua itu karena dorongan yang ada bukan sekedar dorongan mencari nafkah, namun lebih dalam lagi.
Kegigihan dan kepedulian Ajip menjaga sastra daerah berangkat pula dari kerisauannya akan ketidakjelasan posisi bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Beliau mencontohkan, dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipertahankan rakyatnya harus dikembangkan oleh negara. Akan tetapi, menurut Ajip, kewajiban itu sampai sekarang belum dipenuhi. Baru pusat bahasa saja yang menjadikan bahasa daerah sebagai objek studi, namun minim pembinaan dan pengembangan.
Tulisan Ajip di harian Kompas sempat membuat berang Kakanwil Depdikbud Jawa Barat. Dalam tulisannya, ia menggagas ide adanya dua jenis sekolah, yang satu menggunakan pengantar bahasa daerah, yang satunya lagi menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Sekolah tersebut dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi.
Kecintaannya pada sastra Sunda terlihat juga saat ia masih mengajar di Fakultas Sastra Unpad, Bandung. Pada tahun 1967, tidak ada seorang pun calon mahasiswa yang mendaftar di Jurusan Bahasa Sunda. Akhirnya, pihak Fakultas mengambil kebijakan–yang disetujui Rektor–tentang penghapusan ujian bagi siapa saja yang ingin mendaftar ke Jurusan Bahasa Sunda. Ajip dengan tegas menolaknya. Ia takut hanya calon mahasiswa “sisa” yang akan mendaftar.
Sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 ini adalah putra sulung dari keluarga guru SD. Sejak kecil ia terbiasa membaca beragam jenis buku di perpustakaan sekolahnya. Ketika duduk di bangku akhir SMA, ia memutuskan untuk drop out, tidak mengikuti ujian akhir. Semua itu dilakukannya setelah mencermati polemik di surat kabar seputar bocornya soal-soal ujian akhir SMA. Pada salah satu gurunya ia bertanya, “Pak, orang kok hanya untuk mendapatkan bocoran ujian sampai menyogok?” Sang guru menjawab ujiannya hanya untuk mendpatkan ijazah, dan ijazah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Maka sastrawan, yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta selama tiga kali masa jabatan (1872-1981), ini pun memutuskan untuk hidup tanpa ijazah. Ia tidak mengikuti ujian akhir, meski sudah lunas membayar biaya ujian. (ME)
Sumber: Pribadi-pribadi Pembuka Cakrawala, PT Kompas Media Nusantara, 2000
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar