foto: doc pribadi
:the esfand
Jikalau cita-cita adalah sebuah status sosial, kurasa itu tak berlaku baginya. Namun, jika cita-cita adalah tujuan hidup, kurasa hal itu sepenuhnya melekat padanya.
“Meja lima minta makanannya segera diantar, tolong didahulukan ya, Ras, tamu penting ini, langganan tetap. Dalam waktu lima menit gindara steak dan lemon squash pesanan Tuan Han harus sudah siap saji.”
“Baik.”
Kurasa, pemuda ini begitu berbakat. Tak pernah ada komplain untuk masakan hasil tangan terampilnya. Bahkan, lima diantara sepuluh masakan dan minumam best seller di restoran ini adalah hasil ramuannya. Padahal, ia hanya dianggap koki kelas tiga saja di sini. Tak tahulah mengapa. Bukan hanya piawai meramu dan mencampur bahan-bahan makanan, ia pun mampu menyajikannya dengan tampilan yang indah dan menarik. Seakan-akan dunia kuliner tengah beranjak menjadi bagian dari dunia seni visual.
“Bagus, Tuan Han puas dengan masakanmu. Tapi, tak perlu tersenyum bangga, kau, tak perlu meminta lebih. Salahkan saja ayahmu yang bodoh itu.”
“Hemm, tak paham juga rupanya…”
“Apa katamu barusan?!”
“Tidak.. .”
Yang baru keluar dari dapur ini adalah koki kepala di restoran ini. Iya, itu yang tadi berkata-kata dengan nada tinggi pada pemuda ini, si Ras. Aku jarang melihat koki kepala itu memasak. Paling-paling ia terpaksa masuk ke dapur saat ada tamu penting saja, dan selalu menyuruh Ras (dengan nada tinggi) untuk menyiapkan segala rupa makanan enak dan mewah hanya dalam waktu singkat. Bukan, bukan 15 menit waktu yang diberikan, 5 menit saja! Sinting memang. Selalu hanya 5 menit, dan Ras selalu tepat. Ajaib.
“Capek, Ras?”
“Oh, Paman, tidaklah. Saya sudah terbiasa begini, Paman. Bagaimana di luar? Ramaikah? Bukankah ini malam minggu, biasanya restoran terdengar lebih riuh dari dalam sini kalau malam minggu.”
“Iyalah, Ras, ramai. Penuh semua meja di lantai satu dan dua. Anak-anak muda zaman sekarang memang gemar sekali makan diluar. Berombongan pula. Cuma dua orang yang pesan, lima orang yang mengerubungi. Sudah gitu lama pula mereka mengobrol dan bercanda-canda. Macam tak banyak saja yang juga ingin makan di sini.”
“Haha, begitulah anak muda yang uangnya masih pas-pasan, Paman. Rupanya dulu Paman tak seperti mereka, ya? Haha.. .”
“Yah, mungkin aku memang harus pintar-pintar memahami zaman yang makin berubah ini, Ras. Biar tak sakit kepala aku tiap hari! Haha.. . “
Aku suka si Paman ini. Dia selalu memperlakukan Ras dengan baik. Orangnya sepertinya ramah dan baik hati. Tidak seperti si Kepala Koki yang pemberang (bahkan aku curiga ia juga licin seperti ular). Setahuku, cuman Paman ini saja yang selalau menyapa dan mengajak Ras bercakap-cakap. Entah mengapa yang lain tak pernah terlihat serupa itu. Seperti halnya Ras, aku pun tak tahu dunia luar sana. Pernah sih, aku mencuri dengar perbincangan dua orang pelayan depan saat sedang mencuci piring di depanku. Mereka bilang kalau Kepala Koki memang melarang semua orang di restoran ini untuk sekedar menyapa Ras, alih-alih mengajaknya bercengkerama hangat.
“Ras! Besok ada perayaan ulang tahunku. Aku ingin kamu membuatkan menu spesial yang hanya boleh aku yang memakannya. Menu itu harus benar-benar baru, belum pernah ada yang memasak dan memakan sebelumnya. Spesial dibuat untukku. Mengerti kau?!”
“Baik.”
***
Udara sekitar benar-benar segar. Tak lagi bercampur dengan bau aneka masakan yang menjemukan karena beradu bergelung. Tak juga bercampur dengan bau keriuhan dan keramaian yang padat menyesakkan. Segar, sebenar-bebanrnya segar. Serasa mencandu keabadian. Udara pagi yang kelak barangkali bisa membuat manusia saling beradu untuk sekadar mendapatkannya satu-dua hirupan. Karena langka dan sulit didapatkan. Pantaslah jika bisnis air kemasan yang dibubuhi embel-embel oksigen mulai mendapatkan tempat. Seribu tahun yang lalu, tak ada yang menganggapnya suatu yang rasional.
“Hem, apa yang akan kubuat untuk perayaannya besok... Tidak, aku tak mau yang terbaik dan terenak. Aku ingin yang terpantas. Paling pantas untuk manusia sepertinya. Paling pantas untuk membayar semua yang telah ia renggut dan lenyapkan. Paling pantas untuk menghormati tepat setahun kematian Ayah. Kebetulan sekali. Menjadi juru masak berarti menguasai manusia beserta kehidupannya! Tak ada yang lebih pantas selain kuartet kombinasi terlarang yang kuciptakan itu!” (bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar