`the esfand`
Faiza azamta, fatawakkal alallah (Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah)
Ali Imran: 159
Olympe de Gouges adalah anak seorang tukang daging di Negeri Perancis. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, hanya belajar dan terdidik secara otodidak. Pada Oktober 1789 ia memimpin perempuan Perancis dari berbagai kalangan dan kelas menyampaikan agenda reformasi perempuan di depan Majelis Nasional Perancis. Ia juga yang menjadi penentang pengesahan Deklarasi Perancis atas Hak Laki-laki. Menurutnya, deklarasi itu telah menghilangkan prinsip kesetaraan alami karena membagi warga negara berdasarkan kelompok gender dan ras. Hal serupa itu pun terjadi di berbagai belahan dunia barat. Apa pasal? Karena perempuan diberangus secara sistemik hak-haknya.
Mari beranjak ke Nusantara tercinta ini. Saya mungkin hanya numpang lahir dan numpang Sekolah Dasar di Denpasar, namun memori tentang kehidupan perempuan Bali begitu terekam dalam benak saya hingga kini. Kebetulan saya tinggal di pemukiman yang mayoritas warganya asli dari Bali. Di sebelah rumah saya, tinggal sebuah keluarga besar yang seluruh anggota keluarganya bekerja di toko serba ada milik mereka. Toko itu ada di bagian depan rumah mereka. Setiap pagi buta, kegaduhan tercipta di seputaran rumah itu. Mek Juwet (sang ibu) harus berbelanja ke pasar Sanglah setiap jam 01.00 dini hari. Anak-anaknya yang perempuan (saya lupa namanya) telah sigap pula membenahi toko dan memasak bahan makanan jadi seperti es campur dan kupat tahu. Para beli (kakak laki-laki)? Jangan diharap. Masih tidur semua. Bertahun-tahun kemudian (ketika saya sudah berstatus warga Jawa Timur), Bunda mengabarkan bahwa salah satu anak perempuan Mek Juwet telah dibawa lari pacarnya. Saya tidak heran karena memang itulah tradisinya. Kasta masih berlaku. Ketika ada pasangan yang ingin menikah, tetapi berbeda kasta, maka sang lelaki harus “membawa lari” pacarnya itu agar pihak keluarga tidak bisa menghalangi.
Saya mungkin juga sekadar numpang tinggal dan sekolah selama kurang lebih sepuluh tahun di Pulau Lombok, tetapi ingatan tentang kehidupan perempuannya tentu tak kan pernah musnah dalam ruang pikir saya. Mungkin karena komplek perumahan tempat saya tinggal berada di desa yang sebagian besar warganya adalah penduduk asli suku Sasak. Jujur, saya kadang lebih merasa menjadi orang Sasak dibanding Jawa. Tidak ada sistem kasta di Sasak. Paling-paling hanya gelar bangsawan lalu dan baiq, semacam ningrat Jawa-lah. Dua kata untuk mengomentari karakter mereka terkait tradisi kerja: Jawa banget…Orang Sasak cenderung berpangku tangan, menerima hidup dengan pasrah tanpa kerja keras untuk merubahnya. Tidak lelaki tidak perempuan, sama. Tradisi keagamaannya sangat simbolik dan formalistis. Shalat berat, namun memotong sapi di setiap peringatan Maulid Nabi adalah keharusan. Sampai-sampai beberapa keluarga rela patungan untuk membeli sapi jika tidak mampu membeli sendiri. Di desa tempat saya tinggal, tingkat perceraian tinggi. Poligami juga. Karakter mereka keras, sekeras cara dan logat bicaranya. Namun sayangnya, kerasnya karakter mereka tidak mengilhami mereka untuk keras pula berusaha meningkatkan taraf dan kesejahteraan hidup. Apakah disana sekarang masih ada anak SD yang bersekolah hanya memakai sarung? Semoga saja tidak.
Ibu saya Jawa Timur tulen, bapak saya keturunan asli Gunung Kidul-Yogyakarta. Jawa semua. Jika dipaksa memilih mana yang sesuai dengan saya, saya jawab: Jawa Timur. Mengapa? Karena nuansa kebebasan berkspresi lebih saya temukan disana. Saat pertama kali pindah ke Jawa Timur, kalimat pertama yang saya ajukan pada Bunda adalah, ”Mall-nya dimana?” Maklum, ketika masih di Denpasar, Mall adalah tempat nongkrong saya dan kawan-kawan kecil saya sepulang sekolah. di Kota Angin tempat saya tinggal di Jawa Timur tidak memiliki Mall satupun. Satu hal yang dengan cepat membuat saya lupa pada Mall adalah kultur kebebasan berekspresi itu. Memanggil tetangga depan rumah dengan berteriak dari dalam rumah kita adalah hal yang biasa. Lelaki dan perempuan adalah sama pekerja. Lelaki dan perempuan sama-sama bisa jadi jawara.
Karena darah “daerah keraton” juga mengalir dalam diri saya, sesekali saya pun harus bertandang mengunjungi sanak famili di seputaran DIY-Jawa Tengah. Hal yang (sampai detik ini malah) paling saya hindari. Apa pasal? Tradisi yang sangat tidak proporsional terkait posisi perempuan. Menurut saya. Ketika kecil, saya paling malas jika harus berkunjung dan menginap di tempat Pakde saya di Klaten. Kenapa? Karena setiap pagi buta para perempuan yang ada dirumah Pakde (baik yang memang tinggal disitu maupun yang sedang menginap) harus bangun dan mulai mempersiapkan hidaangan serta membereskan rumah. Tidak peduli dewasa atau masih kecil, semua harus bangun. Sedangkan para lelaki bisa tidur sesuka hati dan bangun sesuka hati pula. Sejak itu, saya dan kakak perempuan saya memutuskan boikot jika harus menginap lagi disana. “Tidak adil,” begitu nurani kecil saya berkata. Sampai-sampai saya berniat untuk tidak akan memilih jodoh yang berasal dari daerah DIY-Jateng (padahal akhirnya saya bersuamikan seorang ikhwan yang berasal dari Klaten-Jateng!).
Hanya sekelumit perjalanan hidup saya memang. Semua daerah yang saya ceritakan di atas bisa jadi telah berubah drastis sejak saya tinggalkan bertahun-tahun yang lalu. Namun, dari sana saya meresapi bahwa permasalahan mendasar perempuan bangsa ini adalah ilmu dan pengetahuan. Seketat apapun tradisi melingkupi ruang pikir mereka, jika pengetahuan telah mengalir masuk maka titik-titik cahaya pun akan bermunculan. Dari sana saya juga mengamini, bahwa tanpa ada sebuah pemahaman akan beragam hak dan kewajiban yang sebenarnya dimiliki oleh setiap perempuan, seruan kemajuan tidak akan mampu menerobos labirin tradisi. Mengapa tidak maju? Karena tidak paham. Mengapa tidak paham? Karena tidak berpengetahuan luas. Mengapa tidak berpengetahuan luas? Karena tidak disinari motivasi?
--tulisan lama juga niy...--
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar