Muthia Esfand, S.S
Seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan (Sunan Drajat)
Ibarat makanan, kesenian dalam konteks masyarakat kebanyakan adalah sekedar camilan. Boleh ada namun juga tidak selalu harus tersedia. Hal ini bisa jadi dikarenakan minimnya pemahaman tentang arti dan nilai suatu bentuk karya seni bagi kehidupan manusia. Seni dianggap hanya sekedar pajangan pemanis ruangan, hiburan pelepas gundah, bahkan sekedar cara meningkatkan gengsi.
Menurut Tisna Sanjaya–seorang seniman yang identik dengan media berupa performance art–di dalam karya seni terkandung nilai-nilai yang mampu menciptakan perubahan, meskipun secara tidak langsung, bahkan karya seni merupakan instrument penting dalam sebuah perubahan kebudayaan. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa seni juga mempunyai nilai penyadaran bagi masyarakat.
Ada sebuah penggambaran menarik mengenai hubungan aktivitas seni dengan dunia sosial-politik, yang dituangkan oleh almarhum Kuntowijoyo dalam novelnya yang berjudul Mantra Penjinak Ular. Dalam novel tersebut beliau bercerita tentang seorang pegawai kantor Kecamatan, Abu Kasan Sapari, yang juga memilki bakat dan kemampuan dalam bidang seni, utamanya seni wayang kulit. Pada suatu ketika, Abu diminta untuk mendalang pada acara kampanye seorang calon lurah di sebuah desa dalam wilayah kecamatannya. Ia menerima saja tawaran itu karena menurutnya seni bisa ditampilkan kapan saja, biarlah penikmatnya yang menentukan sendiri amanat dan hikmat apa yang diperoleh darinya. Pada awalnya, kursi-kursi yang sudah disediakan oleh si Calon Lurah hanya diisi oleh kerabat dekatnya saja. Bukan, bukan karena wayang kulit tidak disukai oleh warga setempat, akan tetapi mereka takut mendatangi tempat pagelaran tersebut karena tidak mau dianggap penghianat oleh calon lurah lain dari kekuatan dominan Orde Baru yang jauh-jauh hari telah memberi uang persekot, semacam DP (down payment) sebelum memilih. Meski pada akhirnya kecintaan pada kesenian lebih mendominasi, dan pagelaran itu pun sukses dihadiri oleh hampir seluruh warga, namun naasnya hal itu berbuntut pemindahan Abu Kasan Sapari-sang dalang yang merangkap pegawai kecamatan-ke daerah lain karena dianggap menjadi penyebab kegagalan calon lurah dari kekuatan Orba. Semua itu masih ditambah dengan peringatan untuk tidak melibatkan seni dalam dunia politik praktis.
Citra seni di Indonesia memang tidak seputih kapas. Di masa silam ia pernah dilekatkan sebagai identitas partai terlarang, yang pada akhirnya berbuah limitasi aktivitas berkesenian. Seni juga seringkali dianggap sebagai aktivitas hura-hura yang jauh dari kesan ilmiah, intelektual, akademis, bahkan moralis. Hal ini bisa jadi karena adanya anggapan bahwa proses penciptaan suatu bentuk karya seni hanyalah proses perenungan semata, ibarat menanti ilham dari langit, tanpa ada proses ilmiah dan intelektual disana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa dalam menciptakan suatu karya seni, seorang seniman juga dituntut untuk melakukan proses-proses layaknya penelitian ilmiah. Mulai dari proses studi pustaka, menelaah realita sosial yang tengah terjadi, bereksperimen dalam menghasilkan nilai estetika yang tidak melulu sama, berkontemplasi agar kedalaman makna kehidupan juga tertuang dalam karyanya, sampai pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk karya nyata.
Ada dua kubu paradigma berkesenian, memang. Antara menjadikan seni sebagai ruang bebas nilai yang sepenuhnya sarat estetika tanpa campuran nilai kemanusiaan apa pun, dengan paradigma yang memposisikan seni sebagai bagian dari agent of change yang tidak sekedar menghibur, namun juga mencerahkan dan terlebih lagi mendorong kepada perubahan kehidupan masyarakat. Tidak ada yang benar atau pun salah, keduanya sah dan boleh-boleh saja. Ada pula yang fokus menjadikan kesenian sebagai sarana perlawanan dan penyambung hidup, ada pula yang menjadikannya sebagai aktivitas kedua, itu pun tidak bermasalah nampaknya. Asalkan seni tetap bergulir sebagai bagian utuh pembentuk masyarakat, sama halnya dengan bagian-bagian lain seperti ekonomi, politik, teknologi. Meskipun demikian, tidak berarti seni bisa diwujudkan dalam bentuk apapun dengan alasan bebas nilai. Ia tetaplah harus memilki koridor-koridor tertentu layaknya jagad raya yang juga dilingkupi sekian hukum alam yang menjadi penyangga serta pelestarinya.
Sudah saatnya seni dipersepsikan sebagai bagian dari dunia ilmiah serta intelektual, dan bukan lagi sekedar nilai estetika yang bebas nilai. Para seniman yang muncul diluar ruang perkuliahan khusus seni barangkali memang mengemban tugas sebagai penyambung idealisme ini. Seperti ungkapan perupa Arahmaiani, “Posisi seniman adalah penghubung dunia atas dan dunia bawah, menjadi mediator antara yang halus dan yang kasar, yang suci dan yang profane, atau antara peradaban dan alam, antara mimpi dan kenyataan. Seniman adalah intelektual, namun sekaligus orang biasa, seniman boleh bermimpi dan berkhayal namun bersamaan dengan itu dia harus menjejakkan kakinya di bumi.”
--tulisan dah lama bgt siy....---
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
seni itu untuk menghaluskan yang kasar. meratakan yang ga rata.
begitu kata Abu KaSan Sapari. (kebetulan baru ngabisin novelnya Kuntowijaya Mantra Pejinak Ular dan Sapirin & Satinah).
menjadi seniman berarti seorang pekerja yang tak mungkin tergantikan. tidak seperti jabatan rektor, walikota, ketika ia mati dapat di gantikan oleh orang lain. atau dapat diangkat rektor dan walikota baru.
tidak untuk seniman. jika satu seniman tidak pernah ada maka karyanya tidak akan pernah ada.
Posting Komentar