Well, I believe in my God, totally. Di hari pertama terapi 29 hari ini kujalani, seorang guru sekolah di Tasik ketika itu ikut berbagi pikiran tentang sedekah, yang menjadi tema talk show yang kubawakan saat itu. Ia menekankan betapa niat akhir dari segala pemberian yang kita lakukan pada intinya adalah ekspresi kecintaan kita pada Tuhan. Cinta yang membuat kita selalu membuka diri untuk berbagi pada sesama dan semesta. Kita dan semesta tak pernah bisa dipisahkan. Meski masing-masing hidup dengan logikanya sendiri-sendiri, tapi tetap saja saling terikat dan membutuhkan. Keengganan kita memperhatikan semesta, sama saja enggan memperhatikan diri kita sendiri. Jadi, jangan hanya memberi dengan harap mendapat cash back yang setara. Bukankah rasa damai dan bahagia yang muncul dari diri kita setelah melakukan pemberian jauh lebih tak ternilai, ketimbang nominal pemberian yang kita lakukan?

Targetku hari ini: menghabiskan recehan yang sudah kusiapkan sejak hari Minggu kemarin. Kebetulan hari ini rencananya mau ketemu beberapa teman lama di Plaza Semanggi. Salah satu diantaranya ingin meminjam buku 29 Gifts milikku. Jadilah aku berangkat dengan angkutan favoritku: kereta api. Setelah duduk di dalam kereta, aku mulai berpikir sebaiknya turun di stasiun mana ya untuk menghindari kemacetan. Akhirnya kuputuskan untuk turun di stasiun Gondangdia saja karena aku ingin melakukan pemberian berupa tambahan rezeki bagi supir bajaj. Sebenarnya lebih cepat naik ojek, tapi kalau kupikir-pikir sepertinya tukang bajaj mulai kalah bersaing dengan tukang ojek. Karena itulah aku memilih naik bajaj saja nanti. Kalau ingin berhemat, rute Stasiun Gondangdia-Sarinah-Semanggi sebenarnya memakan ongkos yag lebih mahal dbandingkan rute Stasiun Kota-Semanggi. Tapi, karena pemberian pada supir bajaj itu yang kuinginkan maka biarlah rute pertama yang kuambil.

Bajaj membawaku dari Stasiun Gondangdia menuju halte bus Trans Sarinah. Aku teringat recehan yang sudah kusiapkan beberapa hari ini. Biasanya di jembatan menuju halte ini selalu ada pengemis yang stand by dengan gelas plastiknya. Benar saja, ekor mataku langsung menangkap beberapa pengemis yang berdiri di setiap tikungan jembatan. Senang rasanya bisa menuntaskan misi recehan ini.

Sesampainya di Semanggi ternyata teman-temanku sudah ada juga. Jadilah kami bertukar cerita tentang pekerjaan dan kabar masing-masing. Setelah makanan tandas dan malam semakin menjelang larut, kami pun berpamitan pulang. Tak kusangka, salah satu teman berbaik hati membayari makanan dan minuman yang kupesan tadi. Uniknya lagi, jumlah harga pesananku tak jauh beda dengan total pengeluaranku untuk transport dan pemberian hari ini. itu pun baru kusadari ketika menulis catatan ini.

Satu hal yang pasti, pikiran tentang pemberian apa lagi yang akan kulakukan ternyata membuat pikiranku malah jadi lebih relaks dan tenang. Bisa jadi, masalah yang kita hadapi terasa berat dan tak terpecahkan karena kita terlalu fokus memikirkan masalah kita sendiri, dan lupa untuk memperhatikan sesama dan semesta.

1 komentar:

megamegamy mengatakan...

betul mb, manusia plg bermakna adl yg bermanfaat utk sesama.like this article