Rabu, 18 Agustus 2010

TITAH MERAH

:esfand


Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh penduduk Negeri Naga mengular rapi dari ujung Gerbang Kota hingga batas karpet merah tanda pintu masuk istana dimulakan. Jika saja ada yang meneropong dari angkasa, akan tampaklah bentuk serupa kue donat spiral yang biasa dijajakan hangat-hangat di Pasar Kota. Apalagi, kontur tanah kota ini memang layaknya tumpeng nasi kuning saja, dengan istana bercat putih silau di puncaknya. Puncak negeri, dan puncak keriuhan hari ini, kurasa.

“Salah! Bukan ikan bakar semacam ini yang kumau. Sudah berapa lama kau menjadi koki istana??!!”
“Ampun, Ratu, hamba sudah berusaha memasak hidangan persis seperti yang Ratu inginkan. Ikan Bilih segar yang langsung dibakar di tepi sungai. Lengkap dengan sambal cabe mangga muda dan sedikit saus kesemek tua seperti permintaan Paduka.”
“Lalu mengapa ikan-ikan ini banyak yang gosong!! Tak sayangkah kau dengan nyawamu?!”
“Aa..ammpunn, Ratu, resep semacam ini memang belum pernah hamba dengar sebelumnya. Ikan bilih memang tak ada yang besar bentuknya, semua tak lebih dari bayi-bayi gurami. Itulah mengapa ikan-ikan mungil tersebut cepat sekali gosong bila dibakar.”
“Jadi maksudmu aku meminta sesuatu yang mustahil, begitu?! Pengawaaall…eksekusi!”
“Ampun, Paduka, aa..ammmpunn…!!!”
“Berikutnya!”

Wah wah wah.. Ada apa sebenarnya, mengapa kesalahan sekecil itu bisa menerbitkan murka Ratu? Tapi, memang tak pernah ada yang membakar ikan bilih sebelumnya. Ikan sekecil itu tak mungkin lezat dibakar. Aneh. Mengapa Ratu bertitah sesulit itu.

“Mana minuman yang kuinginkan itu?!”
“Beribu maaf, Gusti Ratu, waktu diberikan kepada hamba hanya dua hari. Sungguh mustahil bahtera hamba dapat bersandar di Hindia Jauh yang berhorison-horison jauhnya dalam waktu dua hari, meski selaju-lajunya. Dengan segala penyesalan hamba tak mampu menghadirkan serbuk coklat untuk minuman kegemaran Paduka itu. Hamba mohon pengertian Gusti.”
“Hemm.. . Eksekusi!!”
“Tapi..tapi..Ratu…tapi.. .”
“Berikutnya!”

Kabar tentang telah dieksekusinya dua orang petinggi menyebar dengan cepat bagai tarian gelombang saat pertandingan lempar bola tahunan. Bisik-bisik pun perlahan menjadi gumaman lebah yang berubah drastis menjadi aneka macam kata saat kabar itu sampai di kerumunan tepat di Pasar Kota.

Tak ada yang menyangka, Ratu Adil mereka, yang meski belia namun terkenal bijak dan luhur pekerti, mampu berbuat seperti itu. Memberi titah yang mustahil, dan segera murka saat kemustahilan itu tak juga berwujud nyata. Mereka mulai menerka-nerka, apa gerangan yang terjadi. Ada yang berpikir Ratu sedang menguji-coba kesetiaan mereka. Ada pula yang beranggapan Ratu tengah berada dalam pengaruh Perdana Mentri yang ingin merebut tahta. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Ratu berbuat aneh karena guna-guna dan teluh Negeri Dewa yang memang sudah lama iri dengan kesuburan Negeri Naga.

Tiap opini punya gerombolan pengikutnya masing-masing. Dan ironisnya, adu argumen itu semakin lama semakin berkembang menjadi adu lempar sayur, buah, dan berbagai macam barang dagangan di pasar itu. Astaga.

“Mengapa seragam para pengawal hari ini terlihat lusuh dan tak bergaya?! Sudah malaskah para petugas penatu di belakang sana! Konspirasi apa ini?!”
“Mohon maaf, Ratu, tapi tak ada yang berubah dari seragam-seragam itu. Sama bersih dan bersinarnya seperti seragam mereka hari-hari sebelumnya. Bahkan seragam hari ini baru saja mereka dapat tadi malam sebagai ganti seragam lama yang sudah berusia satu bulan.”
“Oh, jadi lagi-lagi ada yang menganggap aku tak waras hari ini?! Begitu maksudmu, Kepala Rumah Tangga Istana?!!”
“Bu..bukan, Ratu yang jelita. Hamba hanya mengungkapkan semua apa adanya tanpa maksud merendahkan Paduka.”
“Eksekusi!”
Dan senyaplah seluruh negeri sehening-heningnya. Tak ada yang menyangka Ratu akan sekeji itu tanpa sebab yang jelas.
“Dan suruh semua penduduk negeri kembali ke rumahnya masing-masing. Tak ada yang boleh berada di luar rumah hari ini kecuali para pengawal!”

Maka dengan cepat seluruh penduduk negeri berebutan untuk secepat-cepatnya sampai di rumah masing-masing. Menutup dan mengunci semua pintu-jendela rapat-rapat, dan segera berkumpul di tengah rumah untuk berdoa bersama seluruh anggota keluarga. Petaka.

Sungguh sebuah tebaran kengerian yang mencekam selama berabad-abad negeri ini berdiri. Sudah menjadi tradisi, memang, jika pemimpin negeri dipilih dari keturunan perempuan alias putrid mahkota. Dan sudah menjadi kebiasaan pula bila sang ratu akan menerima tahtanya sebelum masa dewasanya bermula. Tak pernah ada masalah sebelumnya. Bergenarasi-generasi ratu menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Tapi..memang ada sedikit perbedaan. Sang ratu kali ini menjalani masa kecil dan menjelang pentahbisan keratuannya tanpa kedua orang tua. Mereka mengalami musibah saat perburuan tahunan.

“Huff..apa yang terjadi padaku beberapa hari ini. Mengapa aku cepat sekali marah dan mengalami perubahan suasana hati yang begitu cepat. Mengapa pula aku member mereka titah semustahil itu. Dan, mengapa pula sekujur tubuhku terasa pegal-pegal tanpa alasan. Apa sebenarnya yang terjadi.”

Lalu, tiba-tiba saja sang Ratu terdiam tercekat dari monolog curahan hatinya, dan bergegas melucuti pakaian kebesarannya. Ia terhenyak saat mendapati sebentuk noda merah dalam pakaian terdalamnya. Darah. Bingung dan takut. Apakah ia benar sedang diguna-guna? Mengapa tubuhnya mengeluarkan darah semacam ini?
Dan, itulah kali pertama ia merindukan orangtuanya, berharap Ibundanya masih ada agar ia bisa bertanya tanpa malu-malu tentang hal baru yang dialaminya kali ini. Ia lupa, bahwa usianya sudah mencukupi untuk menjadi seorang perempuan.



*dibuat saat PMS menyerang dan hasrat “ngomel-ngomel” mulai tak tertahankan :p

1 komentar:

penakayu mengatakan...

bentuk nyatanya dalam adegan ini
=====
Pengawaaall…eksekusi!”

sadis :-p