`the esfand`

Setelah Pramoedya mangkat, barangkali bangsa ini harus memendam kembali impian untuk meraih penghargaan Nobel Sastra. Sampai akhir hayatnya, hanya beliaulah satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah menjadi nominator penerima hadiah sastra paling bergengsi di jagad sastra dunia.
Menurut Anton Kurnia dalam buku kumpulan esainya berjudul Dunia Tanpa Ingatan: Sastra, Kuasa, Pustaka yang diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, kurang berpengaruhnya sastra Indonesia di tingkatan dunia dikarenakan lemahnya tradisi sastra yang dimiliki Negeri Kepulauan ini. Anton lantas membandingkan dengan sesama bangsa Asia lain, seperti Jepang, India, dan Cina, yang berlangkah-langkah lebih maju dalam perolehan hadiah sastra sejagad ini. Indonesia dianggapnya sebagai sebuah bangsa yang tidak memiliki tradisi sastra yang kuat serta sejarah yang panjang. Padahal Indonesia bukanlah suatu bangsa, bukan?
Dalam sebuah karyanya yang ditulis di Pulau Buru, Pramoedya mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah sebuah bangsa, melainkan hanya negara saja. Bangsa adalah sebuah entitas komunal yang memiliki kesamaan akar budaya, kecenderungan karakteristik, serta adat istiadat. Jawa itu bangsa, Sunda itu bangsa, Batak juga bangsa. Pemaksaan anggapan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa utuh yang memiliki kesatuan paradigma berkehidupan, pada akhirnya malah mempersempit eksplorasi kreativitas para anak negerinya. Anggapan inilah yang, barangkali, menjadi salah satu anasir penggerus tradisi sastra dari bangsa-bangsa yang ada (sastra daerah). Sastra daerahlah sebenarnya yang sejak dahulu menjadi agent of change dalam masyarakat, ketika menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia belum digalakkan.
Tradisi tulis di Indonesia memang tidak setua bangsa-bangsa dunia yang lain. Namun, sebenarnya bangsa-bangsa di Nusantara mempunyai sejarah yang cukup panjang dengan tradisi lain yang tidak kalah berbudaya dengan tradisi sastra. Tradisi Lisan. Berbilang dongeng dan hikayat telah dikisahkan turun-temurun sampai detik ini. Kisah-kisah itu bahkan dijadikan sarana bagi orang tua untuk memberikan pelajaran tentang hidup kepada anak-anaknya. Ketika tradisi tulis akhirnya mewarnai kehidupan masyarakat awal negeri ini, kisah-kisah itu masih terus saja diwariskan pada generasi selanjutnya.
Tradisi tulis akhirnya mulai merebak sebagai pemanjang ingatan dan dokumentasi sejarah. Namun sayangnya, sejak awal tradisi ini hanya bisa dinikmati dan diakses oleh kalangan tertentu saja. Kalangan borjuasi kerajaan beserta lingkar-lingkar intinya. Untung saja beberapa bangsa memiliki produk budaya lain sebagai corong penyampai kearifan nilai yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut. Tradisi pementasan. Maka terselamatkanlah kedalaman makna naskah tersebut dari kepunahan.
Anton pun menyoroti tidak adanya kebiasaan menyalin karya sastra dunia ke dalam bahasa ibu, seperti halnya bangsa-bangsa lain. Anton mungkin lupa. Mahabarata dan Ramayana yang dikenal luas oleh masyarakat kita sejak masa silam adalah sekuel transliterasi dan adaptasi dari karya aslinya. Sepertinya, Anton begitu menyesali kondisi masyarakat kita yang terasing dalam pergaulan sastra kaliber dunia. Baiklah, mungkin kita perlu mengingat-ingat lagi sejarah panjang negeri ini sejak masa keemasannya di masa (yang sangat sangat) lalu. Sejak awal, membaca adalah “barang” mewah, yang hanya mampu dilakukan oleh mereka-mereka yang kebetulan lahir ke dunia dengan status “priyayi.” Menulis apa lagi. Rakyat kebanyakan seolah dijauhkan secara sistemik dari tradisi membaca dan menulis. Keadaan ini tidak berubah sedikitpun di masa kolonial. Bangsa luar seakan mengetahui secara pasti bahwa kunci kesuksesan raja-raja tradisional adalah dengan menjauhkan rakyat Indonesia dari hal-hal yang bisa meningkatkan nalar berpikirnya.
Di era “pemerintahan sendiri” tradisi membaca dan menulis bahkan bisa melenyapkan kehidupan seseorang. Yang boleh dibaca dan ditulis hanyalah kisah-kisah pelambung angan dan gosip-gosip selebritas. Pembakaran buku-buku menjadi ritual peringatan untuk tidak mencoba-coba menjadi intelek. Parahnya, pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan pun tidak menjadi orientasi utama pihak penguasa. Angka 20 % yang jelas-jelas tercantum dalam “kitab suci” penyelenggaraan pemerintahan selalu dicari-cari alasan untuk mengingkarinya. Lantas, bagaimana bisa pengalaman membaca karya-karya utama dalam jagad sastra kontemporer--seperti yang diharapkan Anton Kurnia dalam esainya tersebut--bisa dilakukan dalam suasana seperti ini?
Regulasi dan kebijakan formal penguasa juga seringkali menjadi penghambat penyebarluasan tradisi sastra di kalangan masyarakat. Karya-karya sastrawan kita belum bisa dinikmati oleh semua kalangan. “Sastra Koran” sebagai bentuk baru yang lebih merakyat pun masih jauh dari kategori berhasil membudayakan tradisi membaca sastra di kalangan masyarakat awam. Teori Habitus dari Pierre Bourdieu (seorang sosiolog dan pengamat dunia sastra asal Perancis) barangkali bisa diterapkan dalam menganalisis permasalahan ini. Dalam teorinya ia mengatakan bahwa praktik sosial yang muncul dari seorang individu atau sebuah komunitas merupakan akumulasi dari tiga hal: habitus, modal, dan ranah. Jika ditulis dalam bentuk persamaan maka teori tersebut diringkas menjadi: (habitus x modal) + ranah = praktik sosial. Habitus mengacu pada berbagai karakteristik dan kebiasaan yang telah bersenyawa dengan sejarah. Modal merujuk pada sekian materi dan kesempatan yang ada di sekitar individu atau komunitas tersebut, sedangkan ranah adalah investasi lingkungan dan kondisi sosial yang menjadi latar belakang kehidupan sosial.
Habitus yang ada dalam kebanyakan masyarakat kita sekarang adalah habitus yang cenderung apatis dengan bacaan-bacaan berbau sastra. Modal berupa kebijakan peningkatan pendidikan serta murahnya materi penerbitan karya, tidaklah dominan tersedia. Ranah yang ada adalah suasana yang berkebalikan antara hangar-bingar kaum metro, dengan kembang-kempis rakyat lapis bawah. Jadi bayangkan saja, praktik sosial apa yang tercipta.
Sah saja berharap “nobel runtuh,” akan tetapi ada tanggungan yang jauh lebih penting untuk disegerakan, memasyarakatkan sastra di rumah sendiri. Cara-cara memasyarakatkan hikayat di masa lampau lewat kolaborasi antara dunia sastra tulis dengan seni pementasan kiranya patut untuk dipertimbangkan. Lihatlah betapa dahsyat kekuatan wayang (kulit maupun orang) bangsa Jawa dalam menginternalisasi nilai-nilai luhur dalam masyarakatnya. Tradisi lisan juga bisa dijadikan salah satu alternatif. Asyik bukan jika suatu saat nanti kita mendengarkan seorang ibu menceritakan Bumi Manusia kepada buah hatinya sebagai cerita pengantar tidur? Memang, di sisi lain dunia perfilman juga bisa mengakomodasi hal ini. Akan tetapi, lagi-lagi upaya tersebut juga belum bisa dijangkau mudah oleh lapis bawah.
Jendela dialog antar bangsa yang diinginkan Anton lewat publikasi teks-teks sastra sebenarnya telah marak di sekiat kita. Akan tetapi, kesemuanya itu sulit untuk mewujud pada suatu kondisi ideal, jikalau tidak diimbangi dengan itikad professional dari pihak penguasa. Itikad yang berupa usaha maksimal meningkatkan kualitas pendidikan rakyatnya.
Sungguh prestisius, memang, jika Nobel Sastra itu berkesempatan menyapa salah satu sastrawan Indonesia. Yah, semoga saja ketika saat itu benar-benar terjadi, kehidupan sastra negeri ini telah semakin maju. Lantas, jika ternyata sastrawan kita tidak pernah mendapat hadiah sastra sejagad itu sampai akhir jaman nanti, bagaimana? Ya, ben wae!

1 komentar:

penakayu mengatakan...

urusan nobel urusan "sastrawan".

kalau kek saya inih, yang penting menulis..menulis dan terus menulis..