Kamis, 13 September 2007

TATO MANSI

`the esfand`


Hanya satu hal yang kuharapkan hari ini: tidak hujan. Bukan apa-apa, kawasan Lenteng tempatku bekerja memang tidak pernah terendam air luapan entah darimana itu, namun Kampung Melayu tempat kosku inilah yang selalu menjadi tumbal egosentris kaum urban. Lantas? terang saja hal itu akan sangat merepotkan dan menyita sedikit waktuku, karena sebelum pergi aku terlebih dahulu harus bersusah payah menaikkan kasur lipat dan segala yang ada dalam kamar sempit ini ke atas lemari agar tidak kuyup ketika air mulai merembes masuk. Padahal aku tidak boleh telat sedetik pun.

TATO MANSI, begitu biasanya orang menyebut rumah kecil itu. Disitulah tempatku bekerja. Tidak, tidak ada papan nama atau coretan apapun yang menuliskan nama itu di depan rumah, atau di jendela. Tidak pernah ada selebaran promosi juga. Sudah jadi rahasia umum bagi para penggila tato untuk menjadikan tempat kerjaku itu pilihan utama. Cari saja gang sempit bernama Saatun, lurus, kanan, lurus, rumah bercat hitam sebelum mentok. Itulah.

Sudah tiga tahun aku bekerja dengan Mansi, pemilik rumah tato ini.Aku tak tahu siapa nama lengkapnya, kata kawan-kawan dari dulu semua juga memanggilnya Mansi. Orangnya pendiam, menyantap umbi-umbian dan pisang yang direbus atau dibakar tanpa bumbu apapun, Satu hal lagi, sekujur tubuhnya penuh tato. Mansi tidak pernah bercerita darimana keahlian menato dipelajarinya, yang jelas tato jenis apapun yang diminta pelanggan akan diwujudkannya. Asal bukan yang serupa miliknya. Itu pantangan bagi Mansi.

“Tahu yang jual daging monyet gak, Nos?” tanya Mansi sambil mengupas kulit pisang rebusnya.
“Apa, Man? Monyet? Kagak salah ngomomg lu?”
“Kira-kira di tempat Koh Li penjual daging ular ada tidak?” tanya Mansi lagi tanpa peduli komentar heranku. Sambil bergidik agak ngeri kujawab pertanyaannya.
“Coba aja. Kata anak-anak sih Koh Li juga bisa dipesan khusus buat nyariin daging hewan yang aneh-aneh. Emang enak, Man?”
Hanya acungan jempol yang menjadi jawaban. Satu lagi kudapat tanda keanehan Mansi.

Klintiing….
Bunyi lonceng di pintu masuk mengurungkan niatku untuk bertanya lebih lanjut. Menerima dan membantu pelanggan memilih jenis tato adalah tugasku. Perempuan rupanya.

“Hai, aku Nosi. Ada yang bisa kubantu?”
“Aku mau bikin tato. Ada contoh yang bisa dilihat gak?”
“Oke. Duduk saja disana, aku ambilkan katalog.”

Sambil mencari katalog terbaru dalam tumpukan katalog di atas meja sudut, selirik kupandangi gadis itu. Standar, seperti kebanyakan perempuan yang datang ke tempat Mansi. Ada dua jenis pengunjung yang biasanya datang ke tempat ini: pertama kelompok urban, kedua kelompok anti urban. Alasan membuat tato pun bermacam-macam. Mulai dari alasan mode, sampai penanda anggota suatu komunitas.
"Silakan dilihat dulu, kalau tidak ada yang cocok ceritakan saja kamu maunya yang bagaimana nanti kucoba menggambarkannya."
Jangan salah, aku dan Mansi sama-sama sarjana. Aku dari seni, Mansi kedokteran. Itu hal selanjutnya yang kuyakin cukup menggelikan dari seorang Mansi. Pernah kutanya kenapa ia tidak menjadi seorang dokter saja, dan jawabnya:
"Aku memang digariskan menjadi seorang penyembuh, Nos. Tetapi bukan sekedar dokter seperti yang biasanya. Ruang kerjaku tidak tersekat gejala-gejala yang hanya ada dalam buku-buku teori, melainkan keseluruhan gejala yang melingkari setiap manusia. Fisik maupun metafisik. Itu yang seharusnya, namun sekarang aku menggaris alur yang lain."
Aku tidak cukup bisa menangkap apa yang dimaksudnya kala itu. Sama halnya ketika di saat yang lain aku bertanya darimana sebenarnya ia berasal.
"Hmm...jangankan aku, semua orang pintar jaman ini pun masih memperdebatkan darimana sebenarnya bangsa kami berasal. Mungkin karena tidak dari belahan dunia lain manapun didapatkan yang serupa dengan bangsaku."
"Bangsa? jadi kau bukan berasal dari Indonesia?"
"Nosi..Nosi..katanya kau pecinta buku-buku Pramoedya, tetapi pertanyaan serupa itu terlontas dari mulutmu. Indonesia itu bukan bangsa, Nos, tetapi negara yang berupa kumpulan bangsa-bangsa. Jawamu itu bangsa, Dayak bangsa, Sunda bangsa, kami bangsa. Sayang, banyak juga yang berpikiran sepertimu. Akibatnya kita dipandang serupa pemikiran dan kecenderungan, bahkan tujuan hidup, hanya karena tato Indonesia yang permanen diguratkan tepat di jantung kita.Itu kata Om Pram, lho…"
Mansi berlalu begiu saja selepas berujar panjang itu. Dan, tak juga kutemukan jawab bangsa apa ia.

"Aku mau tato yang seperti itu saja, Nos, yang ada di lengan atasnya."
Kuikuti telunjuk gadis itu yang ternyata menunjuk pada potret Mansi di dinding sebelah timur. Itu potret Mansi yang sedang duduk di tepi pantai, tempat kesukaannya, sambil bertelanjang dada. Satu diantara empat potretnya yang tergantung di ruangan ini. Semuanya bergaya, dan sendiri. Karena potret itu berukuran cukup besar, segala macam bentuk tato yang menutupi satu sisi kulit tubuh pemiliknya terlihat dengan jelas. Tidak pernah kujumpai ornamen tato serupa itu sebelumnya, dan Mansi memang pantang membuat tato yang seperti miliknya. Tato ini pakaian abadiku begitu katanya.

"Wah, maaf banget..bentuk tato seperti apapun, di bagian tubuh manapun, akan kami layani asalkan bukan yang seperti tato Mansi, pemilki tempat ini. Itu pantangan untuknya.yang lain saja, ya?"
"Yah...padahal itu keren banget. Tetapi kalau memang begitu ya sudahlah...aku pilih yang ini saja."
Mataku kembali mengikuti telunjuknya yang sekarang mengarah pada gambar naga milik Eragon di buku katalog.Pilihan yang tepat untuk kulit putihnya.

Sudah larut, pengunjung terakhir sudah lama pulang. Aku sudah menarik resluiting jaketku rapat-rapat ke atas, ketika Mansi berkata:
"Kita tutup besok. Aku pening, butuh kesegaran udara laut. Temani aku, Nos, kita ke pantai malam ini. Pulang."

Dan, di sinilah kami. Pantai. Mansi punya sebutan yang menarik untuk pergi ke pantai: pulang. Terbersit anggapan dalam otakku bahwa Mansi pasti berasal dari daerah tepi laut, tak mungkin salah.Namun, seperti mampu membaca bersitan pikiranku tiba-tiba saja Mansi berujar,

"Aku tidak pernah tinggal di tepi laut, Nos, di sebuah pulau iya. Memang, ada yang menyakini bahwa dari lautlah segala sesuatunya bermula. Pada suatu masa, ada dua perahu sarat pelancong dari daratan hendak pesiar ke suatu pulau. Entah mengapa, kedua kalabba tersebut berpisah di suatu tempat. Masing-masing bertukar sekeping kulit kerang dan sebentuk batu asahan sebagai penanda jika kelak mereka berjumpa kembali. Lama berselang salah satu rombongan berjumpa dengan sebuah perahu yang lantas dicurigai sebagai musuh, dan ternyata perahu tersebut pun mengira hal serupa. Kedua rombongan akhirnya terlibat pertempuran seru. Anehnya, meski telah sehari penuh bertempur tidak satu pun senjata yang bisa melukai kedua belah pihak.

Mereka lantas mulai berpikiran bahwa masing-masing sebenarnya kawan yang telah berpisah lama. Benar saja, terbukti dengan kulit kerang dan batu asahan yang masih mereka simpan sebagai penanda kawan. Setelah beristirahat, salah satu rombongan bersiap untuk kembali ke tempat asal mereka. namun ternyata rombongan yang lain telah menetapkan kehendak untuk tetap tinggal di pulau tersebu. Karena tidak berhasil mempengaruhi, rombongan pertama pun segera mengarahkan kembali perahu mereka ke daratan asal, dengan tindakan sengaja membawa semua bahan makanan dan pakaian. hal itu mereka lakukan agar rombongan kedua pun segera menyusul pulang. Dan, itulah nenek moyangku. Karena tidak selembar pun persediaan pakaian mereka miliki, akhirnya mereka menato sekujur tubuh sebagai pakaian abadi. Mereka hidup begitu saja dari alam."

Aku terkesiap mendengar cerita panjang Mansi. Ternyata itulah sebabnya ia memiliki tato yang membungkus sekujur tubuhnya dengan beragam ornamen aneh. Aku mulai mereka-reka di daerah mana kira-kira bangsa Mansi sekarang berada. Diam-diam aku mengutuki diriku dalam hati karena saat duduk di bangku sekolah tidak pernah serius memperhatikan pelajaran geografi.

"Tidak rindu pulang, Man?"
"Tentu..."
"Lantas, mengapa kau tidak pernah pulang?"
Tidak langsung terdengar jawaban dari mulutnya. Ia malah asyik mengorek api unggun kecil yang kami buat dari potongan-potongan kayu yang betebaran di pantai. Ikan yang kami beli di kios tepi pantai dan ubi yang dibawa Mansi dari rumah terlihat hampir matang terpanggang api.
"Manua Simangilailai..." gumam Mansi sambil terus mengorek-orek api.
"Apa, Man? ngomong apa barusan?"
"Manua Simangilailai, itu namaku. Manua artinya langit, sedangkan Simangilailai adalah suku yang tersohor keberaniannya di kalangan bangsaku.Aku memang harus pulang, Nos. harus.."
"Sebenarnya, apa yang menghalangimu selama ini untuk pulang?"
"Masa, Nos, jaman..."
"Maksudnya?" tanyaku dengan ekspresi ketidakmengertian yang teramat sangat. Mengapa pulang ke kampung asal saja begitu sulit?

"Kau ingat novel Samurai karangan Takashi Matsuoka yang pernah kupinjamkan padamu? sekuel penghianatan siapa yang menurutmu paling menarik?"
Butuh waktu sampai lima detik untukku mengingat ulang, buku mana yang dimaksud. Ada dua seri Samuari yang pernah Mansi pinjamkan-tepatnya perintahkan-untuk kubaca. Seri satu berjudul Samurai: Kastel Awan Burung Gereja, sedangkan seri kedua berjudul Samurai: Jembatan Musim Gugur. Setelah ingatanku mendapatkan apa yang ia tayakan, dengan sedikit keraguan kujawab ia.

"Kurasa, penghianatan Taro sang panglima kaveleri kepada Lord Okumichi no kami Genji yang paling seru."
"Mengapa itu yang kau pilih, Nos?"
"Karena itulah kenyataan jaman. Modernitas mau tidak mau memang harus diterima tanpa syarat. tetapi bukan berarti lantas akan menggadaikan tradisi yang telah mengakar dalam. Kurasa Taro terlalu khawatir akan pemikiran dan tindakan Genji yang mulai meretas jalan modernitas di Jepang kala itu."
"Memang. Namun, Taro tidak sepenuhnya salah juga, Nos. Ia adalah seorang samurai penjaga tradisi yang melandaskan semua kepatuhannya pada aturan yang telah digariskan leluhur. Modernitas akhirnya memang terbukti mengacaukan identitas yang dibangun berabad-abad. Tetapi, modernitas sebenranya adalah identitas kolektif semua bangsa, yang menjadi prasyarat pengakuan bangsa lain."

"Kupikir tergantung dimana kita memposisikan tradisi dan modernitas itu, kan?"
"Whattan awesome idea, boy.Kurasa memang demikian. Tradisi menjadi jati diri, modernitas menjadi sarana bertahan hidup."
"Jadi, mengapa pulang kampung begitu sulit bagimu, Bung?"
Mansi tersenyum tipis, sambil mulai menusuk dan mengangkat ikan dan ubi yang telah matang dengan sebilah bambu.

"Jikalau engkau menjadi seorang Genji, apakah kau juga akan menjadi galau oleh pilihan tradisi atau modernitas itu?"
"Hmm...pasti bingung. Memilih total mempertahankan tradisi berarti menutup akses dengan dunia baru. Akan tetapi, menggerus perlahan juga akan mendapatkan tentangan dari para pemegang fanatiknya. Memilih berada di antaranya terkadang malah mengaburkan identitas."

Mansi mendengarkan ucapanku sambil mulai menggerogoti ubi bakar yang terlihat begitu menggiurkanku. Aku langsung saja mengikuti jejaknya.
"Ngomong-ngomong, mengapa namamu disingkat Mansi?"
"Agar lebih ringkas dan mudah diucapkan saja."
Fajar sebentar lagi menerbitkan semburatnya, mengangkat perlahan kelam yang menyelimuti lautan. Ikan dan ubi tumpas sepenuhnya dalam perut kami berdua.

"Seperti Genji, sejak kecil pertanda itu sudah melingkupi keluargaku. Kelahiranku ditandai sebagai kelahiran seorang kerei istimewa yang telah lama dinanti.Punen digelar meriah semalam suntuk, gajeuma bertalu-talu sampai ke pelosok. Sejak saat itu aku dipersiapkan penuh dengan berbagai ketrampilan dan pengetahuan adat. Suatu hari, saat aku membeli lempengan tembakau di warung Onasis, aku bertemu dengan seorang pemuda yang ternyata kerabat Onasis dari daratan. Setelah berkenalan, pemuda itu bercerita tentang kuliahnya di sebuah universitas di Sumbar daratan. Begitu memukau. Atas desakanku, serta janji untuk segera kembali dan dinobatkan menjadi kerei, aku diperbolehkan melanjutkan studi ke seberang. Dan disinilah aku."

Selepas menuntaskan ceritanya, Mansi beranjak menyusuri haparan pasir. Aku segera menjajarinya. Apa yang diungkapnya barusan sedikit banyak memperjelas sosok Mansi sebenarnya. Aku tahu mengapa ia enak saja mengucap kata-akata asing tersebut, ia pasti masih ingat kunjunganku ke pulau itu dua tahun yang lalu.
"Empat tahun semenjak wisuda belum juga terkumpul keberanian untuk kembali ke tanah tercinta, dan menyongsong takdir itu..."

Langit telah sepenuhnya cerah, lautan pun telah sepenuhnya membiru lazuardi. Aku dan Mansi terus saja berjalan menyusur, seolah mengikuti angan yang terus saja memanjang tanpa ujung. Atau mungkin menelusuri lagi legenda pribadi yang mulai mengabur. Setelah mendengar cerita tentang asal-usulnya, entah mengapa aku begitu yakin akan kehilangan Mansi sebentar lagi.

0 komentar: