Rabu, 26 Mei 2010

SI ALAY YANG LALAI

;esfand

Bagi yang pernah (atau sedang) menjalani hari-hari sebagai seorang remaja putih-biru atau putih-abu, pasti familiar dengan ragam bahasa “gaul” yang model dan polanya berbeda-beda di setiap jaman. Mungkin, dulu ada yang sangat fasih mengucap:

“Pufulafang sefekofolafah mafaifin kefe rufumafah ifindafah yufuk?!” alias “Pulang sekolah main ke rumah Indah, yuk?!”

yang menjadi salah satu ragam bahasa remaja yang popular di masa saya sekolah dulu. Pada era “lenong Rumpi” dan “Lupus” menjadi tontonan dan bacaan kebanyakan anak muda, muncul pula ragam-ragam bahasa sejenis yang populer di kala itu.

Ragam bahasa gaul memang selalu muncul dari masa-masa ke masa. Awalnya, ragam bahasa khusus semacam ini lebih cenderung digunakan di kalangan preman, sebagai bahasa komunikasi khusus yang tidak mudah dipahami oleh orang dari luar lingkaran mereka. Ragam bahasa khusus serupa ini akhirnya beredar di lingkaran remaja dan mahasiswa pemula, dengan model dan rasa bahasa yang mereka ciptakan sendiri.

Usia remaja memang dikenal sebagai usia penuh hasrat eksistensi dan pencarian jati diri. Mereka selalu ingin terlihat berbeda, baik dari segi penampilan maupun cara berkomunikasi di antara sesamanya. Ragam bahasa yang mereka ciptakan itu, selain bisa menambah eksistensi dan kepercayaan diri di lingkungan pergaulan mereka, secara tidak langsung juga difungsikan sebagai alat untuk menyimpan rahasia khas remaja dari pantauan para orangtua maupun pendidik mereka di sekolah.

Apakah ragam bahasa semacam itu juga kita temukan saat ini? Jawabannya, tentu saja. Siapa yang tidak familiar dengan ragam bahasa yang dijuduli “alay” ini. Ragam bahasa gaul yang filosofi kemunculannya mungkin tak jauh beda dengan bahasa sejenis yang terdahulu, hanya saja model dan metode perkembangannya sangat dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi.

Bahasa “alay” muncul di saat telepon seluler bukan lagi menjadi barang mewah yang tak terjangkau. Hampir bisa dipastikan jika sebagian besar remaja perkotaan (dan barangkali juga remaja kota kecil dan pedesaan yang dekat dengan kota) memiliki minimal satu buah telepon seluler dalam genggamannya. Bahasa ini juga berkembang di tengah maraknya situs jejaring sosial di dunia maya. Keterbatasan space untuk menulis di layar situs jejaring sosial, ditambah kebutuhan untuk melakukan texting yang cepat saat membalas SMS, ditambah pula dengan keinginan agar pesan-pesan yang tersimpan dan terkirim tak serta-merta diketahui para orangtua atau guru ketika perangkat elektronik tadi terkena “razia”, pada akhirnya melahirkan bahasa gaul versi terkini yang menggabungkan huruf, angka, dan simbol secara sekaligus. Maka mulai bertebaranlah status-status yang penuh kombinasi huruf-angka-simbol ini di berbagai situs jejaring sosial populer.

Pada awalnya, tak ada friksi yang terjadi antara bahasa “alay” dengan bahasa pada umumnya. Hanya saja, ketika laju bahasa ini menjadikan situs jejaring sosial sebagai salah satu lintasannya, maka dimulailah babak baru perseteruan antar generasi. Para pengguna situs jejaring sosial yang dikategorikan dewasa mulai merasa risih ketika melihat-lihat berbagai status teman yang ada dalam daftarnya, dan terkadang menemukan beberapa status bergaya “alay” yang selintas tak mirip bahasa apa pun di muka bumi ini, atau ekstrimnya membuat si Orang Dewasa tadi terserang migrain secara tiba-tiba. Dahsyat.

Berikut beberapa komentar pengguna situs jejaring sosial usia dewasa tentang bahasa “alay”:
“Bingung nerjemahinnya.”
“Merusak suasana kebatinan alias bikin bad mood.”
“Ganggu pandangan mata, ngerusak kelancaran baca.”
“Berlebihan, merusak tata bahasa.”
“Bikin kepala cenat-cenut.”
“Mungkin salah satu penyebab nilai UN Bindo anjlokkk...”

Jika pertanyaan tersebut dilemparkan kepada anak-anak usia sekolah (SMP-SMA) atau mahasiswa semester awal, tentu tidak akan banyak komentar negatif yang tercetus, karena pastinya mereka menikmati momen saat mereka memiliki bahasa khusus yang sangat dihindari oleh para penutur bahasa dewasa. Para pengguna setia bahasa ini bahkan membuat piranti dunia maya pengubah bahasa standar menjadi bahasa “alay” yang lazim disebut “alay generator”.

Lantas, apa yang membedakan antara ragam bahasa gaul “alay” dengan bahasa gaul di era-era sebelumnya?

Bahasa gaul di era-era sebelumnya lebih cenderung berupa bahasa lisan atau bahasa tutur dibandingkan bahasa tulis. Perkembangannya pun terbatas di kalangan para subjek tutur tersebut. Bisa jadi karena pada masa-masa itu pengguna piranti komunikasi elektronik hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Berbeda dengan bahasa “alay” yang memang lebih terfokus pada bahasa tulis, terutama yang digunakan pada media telepon seluler dan dunia maya. Interaksi dengan dunia seluler dan dunia maya yang sangat intens dalam keseharian pengguna bahasa “alay” ini menjadikan mereka mulai mengalami kesulitan saat harus menggunakan bahasa Indonesia pada umumnya, alih-alih bahasa Indonesia baku.

Dalam dunia sosiolinguistik, dikenal istilah “alih kode” dan “campur kode”. Alih kode (code switching) adalah beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau bahasa lain) (Chaer, 1994: 67); sedangkan campur kode (code mixing) adalah dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai (Chaer, 1994: 69). Biasanya, yang sering menimbulkan kerancuan dan kericuhan dalam dunia bahasa adalah peristiwa campur kode, yaitu ketika seseorang mengkombinasikan atau mencampur-adukkan beberapa bahasa sekaligus (Indonesia-daerah-asing), yang kadangkala membuat si subjek tutur melupakan sistematika atau tata bahasa yang berbeda antar masing-masing bahasa.

Para pengguna bahasa gaul sebelum era “alay” terlihat masih bisa berbahasa sesuai dengan kondisi dan lingkungan di mana ia berada. Misalnya, ketika bersama dengan teman-teman sebayanya, mereka akan menggunakan bahasa gaul khas komunitas mereka, sedangkan ketika kembali ke bangku sekolah maka mereka akan kembali menggunakan bahasa Indonesia pada umumnya.

Bagaimana dengan para pengguna bahasa “alay”? Ada yang menarik dari komentar salah satu pengguna situs jejaring sosial usia dewasa di atas, salah satunya beranggapan bahwa bahasa “alay” bisa jadi menjadi salah satu sebab anjloknya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Benarkah demikian? Seorang guru sekolah pernah berkomentar di Facebook saya, bahwa para guru senior di sekolahnya mengeluhkan tentang para siswa didik mereka yang kadangkala juga menggunakan bahasa “alay” tersebut ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian sekolah yang diselenggarakan. Menurutnya, hal itu akan sangat merugikan si siswa yang bersangkutan karena para guru senior cenderung tidak mau repot (atau sudah terlanjur pusing?) mengartikan bahasa “aneh” yang tertulis dalam lembar jawaban itu. Guru-guru yang usianya masih relatif muda (dan eksis di dunia maya) mungkin masih bisa sedikit berkompromi karena cukup bisa memahami maksud si penjawab soal. Permasalahan-permasalahan seputar campur kode inilah yang semakin menyudutkan bahasa “alay” sebagai salah satu “tersangka” makin menjauhnya para remaja dari penggunaan bahasa Indonesia yang selayaknya.

Pola pengajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia yang cenderung monoton barangkali juga memiliki andil mengapa para remaja cenderung “alergi” menggunakan bahasa Indonesia yang selayaknya. Ditambah lagi dengan bacaan remaja, baik buku maupun majalah, yang kadang juga tidak proporsional menempatkan bahasa Indonesia dalam kontennya. Apa yang biasa dibaca, begitu pula yang biasa ditulis. Apa yang biasa didengar, begitu pula yang biasa diucap.

Lantas, apakah ragam bahasa gaul ini harus serta-merta “ditumpas” sampai ke akar-akarnya? Tentu saja tidak karena secara umum pola kemunculan bahasa gaul atau bahasa “slang” semacam ini adalah gejala kebahasaan yang memang lumrah terjadi pada komunitas-komunitas subjek tutur tertentu. Yang perlu dilakukan adalah memahamkan para remaja tersebut tentang urgensi memiliki pengetahuan tentang cara berbahasa yang baik serta bijak menggunakan berbagai bahasa yang mereka kuasai tersebut sesuai dengan kondisi yang ada. Agar mereka mengerti kapan saatnya mereka bebas menggunakan bahasa komunitas mereka tanpa batasan, dan kapan mereka harus beralih menggunakan bahasa Indonesia yang benar.

Tentu saja tidak semua remaja terkena gejala “alaynisme” ini. Ada banyak remaja SMP atau SMA dalam daftar teman Facebook saya yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan proporsional dalam status-status dan komentar yang dibuatnya. Barangkali mereka ini tidak lagi dikategorikan “anti alay” tetapi “lumayan alay”. Nah, bagi para subjek tutur dewasa, tak perlu bersungut-sungut mencaci-maki menghina-dina adik-adik kita si “alay mania” itu. Cukuplah dengan memberi panutan yang baik saat berbicara maupun saat berasyik-masyuk dengan berbagai situs jejaring sosial yang kita ikuti. Bila perlu, sesekali jadikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai bacaan pengisi akhir pecan, sebagai pengganti sementara dari tabloid bola, komik terbaru, atau novel romantis top seller. Selamat berbahasa.

3 komentar:

nophe yg baek mengatakan...

Menarik juga kak tema yang dibahas.
Di salah satu stasiun televisi swasta nasional juga pernah mengupas fenomena alay ni. Kemarin ngebahas secara umum dari pakaian nya, gaya rambutnya, tempat tongkrongannya, mpe gaya tulisan yang mereka pake’ dalam layar SMS.

Zool World mengatakan...

Tapi Alay juga punya andil dalam pengamanan akun lo Mut...
Meluncur wae neng TKPku....

megool mengatakan...

bne12 mb4x b1n9ung b4c4 sms 4n4k2 4laY