:esfand
Apa jadinya jikalau mentari melepas diri dan bersinar dengan teriknya di malam hari? Apa jadinya pula bila dingin malam yang menusuk itu tiba-tiba menghembusi siang yang seharusnya hangat menyemangat? Tanyakan jawabnya pada Diandra, ia merasainya kini.
“SMS atau tidak? Telpon atau tidak?” Pertanyaan yang tak henti memenuhi pikiran gadis berjaket putih bertudung itu. Sejak pagi ia duduk tak jenak dalam bilik kubikal warna merahnya. Dua gelas teh hangat berjenis early grey yang kental dan tajam sudah tandas sejak pagi. Padahal tengah hari pun belum lagi menampakkan teriknya.
“Sakit, Di? Pake jaketnya sampai komplit dengan tudungnya gitu.”
“Hem, agak. Demam dari semalam, plus migrain yang tau-tau mau ikutan eksis juga.”
“Halah, udah tau sakit, nekat aja masuk kantor. Emang lagi dateline, Bu?”
“Ga juga sih. Cuma ada satu jadwal ngobrolin rencana promo buku baru.”
“Okelah, asal jangan dipaksain aja.”
“Thanks ya, Ri.”
Sebut ia aneh, sebut ia mengada-ada. Tapi itulah kenyataannya. Diandra terlahir dengan sensitifitas panca indra yang agak sedikit berbeda dengan manusia kebanyakan. Saat begitu dalam ia mencinta seseorang, maka sedalam itu pula panca indra dan hatinya akan turut merasai setiap rasa yang meliputi orang yang dicintainya. Ia sakit jika dia sakit. Ia merasa sebelum dia mengungkap rasa. Ia meluluh-lantak jika dia terbakar menjingga.
Tepat seperti yang sedang menderuinya kini. Tak lama selepas ia dan dia saling menebar sengketa di dini hari yang kelu itu, tubuh Diandra mulai diliput hangat yang dengan cepatnya memanas bagai tungku sekam tanah liat. Ia menyadari, semua karena ulahnya yang tak cukup bisa menghadirkan kesabaran manusia langit. Pemicu kecil bertajuk nuansa ingin bersandar dan melabuhkan semua keletihan, berbalas dengan tradisi yang bukan miliknya. Dia yang namanya selalu terukir indah itu, lebih memilih untuk menikmati semua keletihan miliknya bersama bintang-bintang, senandung syahdu, dan kesunyian yang tak berhiruk-pikuk dunia. Maka, saling berbalik arahlah dua manusia dua dunia itu.
“Mbak Di, maaf, ada kiriman.”
“Oh, taruh di atas meja aja, Mang. Makasih ya.”
“Iya, Mbak.”
Wajah penuh selidik pun segera menggelayutinya. Tak biasanya ia menerima paket tanpa nama seperti itu. Ya, kardus berukuran cukup besar berwarna putih bersih itu tak sedikit pun tercoreti dengan tinta segores pun. Entah nama pengirim entah nama tujuan. Rasa lapar yang terlupakan sejak malam tadi, tiba-tiba menguar perlahan saat aroma wangi khas suatu hidangan samar-samar tercium dari dalam kotak putih yang mulai ia bebaskan dari selotip bening yang mengikatnya.
Tunggu, sepertinya ada secarik kertas hijau pekat yang berada di bagian paling atas, setelah kotak itu terbuka lepas penutupnya.
Nikmati secara berurutan, mulai dari kotak makan berwarna hitam, lalu jingga, merah, hijau, dan terakhir yang berwarna putih. Jangan mengacaukan urutan.
Begitu kalimat yang tertulis di atas kertas hijau itu. Pastinya semakin membuatnya berkerut kening tanda tak mengerti setengah kebingungan. Namun, akhirnya ia putuskan untuk menikmati saja sesuai petunjuk yang dibacanya tadi.
Maka, dibukalah perlahan kotak makan yang berwarna hitam itu. Rupanya berisi kembang tahu dingin. Naluri kokinya mulai menolak sedikit mengacuhkan. Baginya, hidangan ini lebih tepat sebagai hidangan penutup. Mengapa pula harus dimakannya pertama kali. Tapi, naluri penasaran dan kelaparan yang tiba-tiba mengambang batas lebih mendominasi. Maka, jadilah ia segera menyuap perlahan hidangan itu, yang lengkap disajikan dalam porselen putih serupa mangkuk bertutup. Dingin, segar, menenangkan adalah sensasi yang ia rasakan. Serasa terjun dan berendam ke dalam air Toba yang mendinginkan hati dan pikiran itu. Dia mulai terbayang. Seharusnya ia tak perlu semarah itu. Seharusnya ia bertanya terlebih dahulu. Seharusnya ia tak serta-merta menutup dunia itu. Seharusnya ia menyisakan kesabaran yang berlebih, meski raganya terkikis tumpukan pekerjaan. Seharusnya..seharusnya..
Kepala yang sejak semalam serasa diberati gunungan karang, mulai meringan kapas. Hati yang sejak semalam serasa disempiti pasir hisap, mulai melega tanah lapang. Segera dibukanyalah kotak makan kedua yang berwarna jingga. Isinya ternyata sebuah bungkusan kertas minyak berlapis koran ala nasi warteg. Dibukanya perlahan, mulai dari karet hijau dan merah yang menjadi pengikatnya, sampai hidangan yang ada didalamnya menjeblak begitu saja. Senyum mulai terbit menghias wajah ayunya. Lotek. Hidangan serupa gado-gado berbumbu lain, yang hanya ia temukan di kota kelahirannya dan kota tempatnya berlarian mengejar bus kampus. Membuatnya teringat, saat dia pertama kali menyantap dengan lahap menjelang terpukau. Membuatnya teringat saat derail hujan tak henti menemani hari-hari libur panjang mereka tempo lalu. Membuatnya teringat lingkaran sederhana penanda rasa yang semakin dalam. Membuatnya merindui.
Tandas tak tersisa. Begitulah nasib bungkusan hidangan di kotak jingga. Binar matanya segera berpindah ke arah kotak selanjutnya, yang nampak lebih mungil dibanding kotak-kotak sebelumnya. Merah. Itu warnanya. Didapatinya aneka hidangan laut yang berbalut ala tempura. Ia lahir di kota laut. Ia dibesarkan bersama laut. Dia tahu itu. Laut tempatnya belajar menjadi diri yang mengokoh karang, meluas samudera, dan menderu ombak. Tak seharusnya ia terhempas dan tergulung ego yang melemahkan.
Diselimuti nuansa yang semakin menyegarkan dan menenangkan, ia pun beranjak menggapai kotak ke empat yang berwarna hijau. Itu warna dia. Tawa kecil tak segan-segan bermunculan saat didapatinya sebungkus kecil rumput laut krispi bertabur wijen. Upeti kecil yang selalu ia terima darinya. Dia yang mengenalkan makanan itu, dan berjenis makanan lain khas pecinta dunia hijau. Salah satu makanan yang sepertinya tak pernah sepi menghuni tempat penyimpanan makanan miliknya.
Ia merinduinya, teramat sangat. Ingin segera berlari mendekap dan mencium jemarinya, sembari mengucap kata maaf atas deru campur debu yang terpaksa menghiasi lagi kisah mereka.
Ia tahu, masih ada kotak terakhir yang harus dibukanya. Kotak berwarna putih yang ternyata berisi satu cup minuman bersegel yang masih terasa hangat. Rupanya segelas air mineral hangat, tanpa campuran apa pun. Diraih dan diminumnya perlahan, hingga tanpa sengaja ia mendapati deretan kalimat yang tertulis rapi di atas gelas karton berwarna putih itu.
Saat musim gugur menyapa rumah cinta kita, jangan terburu-buru berharap agar semi segera menyapa. Beri waktu, agar musim dingin menjadi jeda yang meredakan semua bara egoisme. Beri waktu, agar musim dingin menjadi pengantara yang menjernihkan pikiran. Beri waktu, agar musim dingin menjadi nuansa yang menyadarkan lagi akan janji yang telah terucap, dan kisah indah yang sudah tertulis. Maka, musim semi akan datang dengan indahnya. Lengkap dengan warna-warni bunga yang baru bermekaran, dan pucuk-pucuk dahan pohon yang mulai menghijau. Pertanda, bahwa cinta kita siap memasuki musim-musim berikutnya. (your beloved Luc)
Dan, sejak detik itu ia menyakini, dialah yang diinginkannya tanpa batas waktu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
genre cerpen cerpenmu ini termasuk apa ya? aku sulit memetakan ^_^
genre esfandisme aja :p
kisah pribadi ya muth..??? lalat pengganggu
@lalat: hehe selamat menebak-nebak :D
aku yakin ada unsur pribadimu nempel kuat di situ.. aku berharap sangat semoga jika toh ada gelap, jangan biarkan ia hinggap mengental. 'gelap' itu tidak eksis, lebih sering produk mental saja yang asyik bekerja tanpa klarifikasi realita..mengutip ungkapan sayyed hossein nasr, tidak akan ketemu yang suci kecuali dengan yang suci... bergerak menuju terang, melebur dalam muara keabadian (plato banget).. semoga Allah memuliakanmu saudaraku...lalat pengganggu
mbaaa... gimana sih biar bisa merangkai kata2 indah tp ga melo banget, ada unsur intelektualitas juga... hu hu... pengen bnget bs nulis kyk mb esfan...
terus menulis mba... ta tunggu cerita2 selanjutny...
penikmat cerpen esfandisme..^_^
Menurutku intinya ada di bait terakhir, yang tiba2 sudut pandang orang pertama yang dipakai. Dalem dan membuat penasaran akan kisah selanjutnya..?
surfer..
Posting Komentar