Jumat, 11 Desember 2009

Sweet Gentle Suicide

:esfand

Apa yang harus dilakukan oleh orang yang ingin bunuh diri? Menulis surat terakhir, melihat-lihat folder foto di komputer, makan makanan favorit untuk terakhir kalinya, atau cukup dengan sibuk memilih cara bunuh diri yang paling menyenangkan? Entahlah. Mungkin semuanya, siapa yang tahu, tak ada buku petunjuk resmi tentang itu.

Dan, hari itu hari Rabu sore, sekitar pukul 16.00. Tak ada yang istimewa hari itu, cuma sekedar janji bertemu dengan Riu di Jendelo Café. Dia ingin aku menemaninya membeli beberapa buku di toko buku yang tepat berada di lantai bawah Jendelo. Tidak mendung, tidak terik, tidak pula berangin. Cuaca yang indah untuk mengakhiri hidup? Mungkin.

“Apa?!!”
Ini Riu, teman sekaligus sahabat dekatku. Entah dari mana ia mendapatkan aksen bicara dengan nada tinggi seperti itu. Padahal tak satu pun dari kedua orang tuanya berasal dari daerah-daerah yang logat bicaranya berintonasi tinggi.
“Ulangi sekali lagi, Dis?!”
“Yeah, cara tercepat untuk bunuh diri itu pakai apa?
“Kamu kenapa, Dis? Patah hati? Dipecat? Tabunganmu ludes? Apa?!”
“Calm down, im fine enough. Just asking…”
“Just asking? Gak ada pertanyaan lain apa…”
‘Udah, jawab aja…Menurutmu gimana…”
“Dasar orang aneh…”
Yah, ini bukan yang pertama kalinya aku disebut begitu. Such a freak, they said. Unik, itu lebih tepat sebenarnya.
“Jadi apa jawabannya menurutmu?”
“Hem, memotong nadi, terlalu banyak darah dan kau masih bisa merasakan sakitnya karena tak bisa langsung mengakhirimu begitu saja. Gantung diri, masih bisa kau rasakan sedikit, detik-detik saat udara dengan cepat ditarik paksa dari tubuhmu. Minum racun, ini mungkin lumayan cepat, paling cuma rasa pahit saat racun itu kau minum, dan yah, sedikit kram di otakmu. Loncat dari gedung pencakar langit, sensasi saat kau terbang melayang itu mungkin tidak terlalu kau sukai, dan darah yang berceceran di jalanan terlalu merepotkan orang lain untuk sebuah perayaan akhir kehidupan yang personal. Menusuk jantung dengan pisau, kurasa kau sudah mati ketakutan duluan saat melihat pisau tajam sebelum sempat kau gunakan. Menggunakan pistol, terlalu sulit dicari alatnya, bisa-bisa kau akan berakhir di Prodeo sebelum cita-citamu itu tercapai. Pilihlah mana yang lebih kau suka…”
“Thanks. Nyari buku ke bawah yuk?”

No, no, aku bukan pecinta film horor, novel pembunuhan berantai, apalagi music death metal. Bukan pula anggota sekte sesat dengan ritual bunuh diri untuk semacam tujuan hidup abadi, atau apalah namanya. Karirku cukup bagus, dengan jumlah saldo di bank yang lumayan, gaji bulanan yang selalu bisa memenuhi kebutuhan dan hobiku. Aku baik-baik saja. Yah, meski tanpa kekasih, tapi apakah itu bisa jadi alasan aku harus bunuh diri? Tidak. Im alive, and quite happy. Jadi apa masalahnya? Entahlah, mungkin aku terjangkit semacam penyakit. Urban phobia. Tak perlu dicari di kamus apa artinya. Aku baru saja menjadi penemunya.

“Sepertinya novel ini bagus, Dis. Sudah baca?”
Chocolat: Joanne Harris
“Aku punya di rumah. Lumayan, ide ceritanya asyik. Tentang coklat, keberanian untuk menghadapi kemajuan dan kenyataan hidup, hal-hal semacam itulah…”
“Hem, aku pinjam punyamu sajalah. Rekomen novel yang cocok untukku, Dis.”
“Veronica Decided to Die by Paulo Coelho?”
“Yeah, itu yang cocok untukmu…”
“Stardust bagus, kamu kan suka novel-novel cinta yang happy ending. Tentang seorang laki-laki yang ingin mempersembahkan bintang jatuh bagi perempuan yang disukainya, tapi ternyata ia malah jatuh cinta pada bintang jatuh yang berwujud sesosok perempuan cantik itu. Dunia kerajaan, penyihir, dan hal-hal berbau Inggris di jamannya Eragon.”
“I’ll take it. Oh ya, di milis ada yang nyari Arok Dedes dan Arus Balik tuh. Lepas aja punyamu. Terakhir ada yang ngelepas harganya sudah 400 ribu per buku, babe! Amazing, kan?”
“Never. Aku suka dua buku itu. Karya Pramoedya yang paling jadi favoritku. Muatan historis dalam buku itu terlalu..apa ya..amazing, meminjam istilahmu tadi, buatku. Mungkin kita tunggu sampai pergerakannya naik jadi satu juta per buku? Hahaha..”
“Yeah, in your dream…”
“Jadi, bunuh diri dengan cara apa yang paling indah, Riu?”
“What?!!”

Ini akhir pekan. Saatnya bersantai dan membaca. Beberapa malam yang lalu aku setengah sadar setengah bermimpi, mandengar kabar bahwa Supernova, karangan Dee, sekuel empat akan segera diluncurkan. Dan ketika pagi harinya kucoba mencari info ke beberapa kolega yang bekerja di industri buku, semua menjawab tak pernah mendengar ada info baru semacam itu. Berarti itu otakku mulai tak seimbang. Batas dunia mulai mengabur. Mungkin itu sebuah tanda dari Veronica. Baiklah, karena ini akhir pekan maka aku harus berusaha untuk santai dan membaca. Siapa tahu, inspirasi bisa muncul dari lembaran-lembaran novel yang kubaca. Tentang cara terindah mengakhiri hidup.

Citizen Girl: Emma McLaughlin&Nicola Kraus
Atau
Bilangan Fu: Ayu Utami

Aku suka yang pertama, mereka pengarang The Nanny Diary’s. Aku cuma nonton filmnya, memang, tidak membaca novelnya, tapi sepertinya lumayan cool. Sinopsis di back cover-nya mencantumkan bahwa novel ini tentang seorang pekerja feminis yang berusaha mencoba beradaptasi dari dunia feminis nonprofit ke dunia feminis yang profit, industrial, dan bagaimana ia mampu mengompromikan dua mainstream itu demi kelangsungan karir dan idelismenya. Hal-hal semacam itulah. Yang kedua karangan salah satu novelis papan atas negeri ini. Karya terbarunya ini lebih kontemplatif, menurut review yang kubaca di berbagai media dan mailing list. Semacam pencapaian spiritual barangkali. Entah menurut dimensi yang mana. Aku membelinya karena ingin tahu saja.

Akhirnya tak satu pun yang kujamah. Aku ingin merenung saja. Sudah lama tak kulakukan. Tunggu, sepertinya harus ada suara-suara yang mengiringi. Baik. My Confession milik Afgan sudah mulai terlantun. Aku memang tidak sedang patah hati, cuma suka dengan denting piano di lagu ini. Mungkin sebaiknya setelah ini aku memutar James Blunt.

Well, lets start.

Apa yang harus kurenungi, sebenarnya. Entah. Bahkan untuk memutuskan hal itu saja aku tak bisa, apalagi menemukan alasan mengapa pikiran tentang bunuh diri begitu rajin mengiringiku bagai asisten pribadi seorang pesohor. Meminta bantuan pada Jendela Jauhari lagi? Seperti di masa-masa kuliahan dulu. Bosan. Baiklah, meracau secara random dan absurd barangkali menjadi teori yang lebih tepat untuk dipilih. Tidak, tidak, Yes No Question saja sepertinya lebih menghibur.
Jobless?
No
Broken home?
No
Punya banyak hutang?
No
Tak punya teman?
No
Single?
Yes

Hmm, lumayanlah, dari lima pertanyaan pokok hanya satu yang terjawab “Yes”. Lumayan? Benarkah? Bukankah itu seharusnya menjadi hal yang terpenting? Bukan begitu? Hmm, entahlah. Sepertinya prosesi merenung pun tak membantu sama sekali. Sedang apa Riu sekarang, yah.. .

Wow, mengapa pikiranku malah meluncur padanya tiba-tiba. Sepertinya aku sudah cukup lama berteman dengannya. Sejak pertama kali melihatnya duduk termangu di pelataran kampus dengan jaket orange kesayangannya yang tak pernah tak menjadi kawan setianya. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata Riu punya lebih dari satu jaket dengan warna orange yang sama, bahkan model yang sama.

Apa yang menarik darinya? Smart, pastinya. Kawan ngobrol yang menyenangkan, paling tidak dialah yang lebih sering kurepotkan dengan segala macam obrolan tak menentu dan curhat-curhat tak karuan dibandingkan dengan kawan-kawanku yang lainnya. Cantik, wajahnya yang mirip peranakan Jepang memang selalu menjadi bahan lirikan para laki-laki di kampus kami. Ayu, bagai putri jepun di kisah-kisah kastil awan burung gereja. Lembut, bagai Shizuka dalam jembatan musim gugurnya. Tunggu, tunggu, kenapa aku malah membahas tentang parasnya? Oh no, no.
***

“Kamu, alasannya, Riu.”
“Alasan apa, Dis?”
“Alasan untuk semua niatan itu.”
“Niat apa sih, Dis? Kamu kenapa lagi?”
Tut..tut..tut…
“Dis? Dis? Dis?!!!”
***
Aku selalu suka laut, lengkap dengan pantai dan hembus angin segarnya. Lengkap dengan ombak dan kicau riang camarnya. Lengkap dengan nelayan dan tangkapan lezatnya. Lengkap dengan horizon dan senja jingganya. Lengkap dengan Riu dan memori saat kami berdua kerap berselonjor terdiam menatap tanpa kedipan bias-bias jingga yang mulai menua, saat matari melantunkan hymne perpisahan pada sang alam. Lengkap dengan Riu dan ingatan saat kami berdua kerap berlari tetawa mengumpulkan kepiting-kepiting pantai, yang ternyata begitu lezat saat dibakar dengan kayu apung temuan kami. Lengkap dengan Riu dan kenangan saat ia merelakan jaket orange setengah jiwanya itu kupakai saat dingin begitu menusuk dalam perjalanan kami kembali ke kota dari pantai malam itu.
***

“Hi, Dis. Maaf, sudah lama aku tak berkunjung kemari. Sepi masih sering kurasai, Dis. Aku jarang ke toko buku itu sekarang. Tak ada lagi kawan tempatku bertanya referensi buku terbaru. Tak pernah lagi juga aku sambangi Jendelo untuk sekadar menyeruput coklat hangat berserut keju itu. Maaf, Dis, aku telat menyadari semua itu. Cerpenmu yang dimuat itu baru kubaca lama setelah hari itu. Mungkin semua akan jadi berbeda, atau sama saja? Entahlah, Dis. Paling tidak akan ada pilihan jika kejujuran tak menyibakkan jati dirinya begitu terlambat seperti saat ini. Kau pasti masih ingat semua jaket orangeku, kan? Cuma tinggal satu saja sekarang, yang kupakai ini. Yang lain sudah kubakar seabu-abunya. Kutebar di pantai tempat kita sering meliar itu. Boleh kutitipkan jaket terakhir ini di peristirahatan terakhirmu ini, Dis? Boleh, ya. Biar jadi kawanmu, biar jadi separuhmu. Selalu ada kereta berikutnya, begitu kerap kau katakan. Maafkan aku, yang tak berhasil mengejar keretamu waktu itu…”

2 komentar:

retno mengatakan...

suuuukka banggets! tp masih penasaraan...hiks... Dis yg misterius...maunya apa seh? jd pengen tau behind the storynya nih...bagi duuung mba,,,^_^

esfand mengatakan...

hehe maunya dis apa yah? teerah yg baca aja :p behind the storynya tar deh kapan2 diceritain