:esfand
“Siapa yang belajar sastra, maka akan halus hatinya (pekertinya).” -Ibnu Qayyim Al-Jauzizah.
Jika suatu saat ada seorang kawan yang bertanya kepadamu, “Eh, novel Harry Potter yang terakhir itu seru ya?” Jangan sekali-kali menjawabnya dengan, “Harry Potter? Siapa itu? Belum pernah dengar,” karena bisa jadi kamu malah akan dicap sebagai orang paling tidak up date sedunia. Atau malah dibalas dengan pernyataan,”Di bagian bumi mana sih kamu tinggal?”
Harry Potter’s effect ternyata memang masih terus dirasakan hingga saat ini. Meski serialnya sudah tamat di angka yang ke tujuh, novelnya masih terus dicari dan dibeli. Entah oleh orang yang sekadar ingin melengkapi koleksinya, atau oleh pembaca pemula yang saat novel ini pertama kali muncul di Indonesia masih belum lancar membaca dan memahami makna. Novel bergenre sama yang menjadi follower dari Harry Potter (HP) pun tak berhenti begitu saja membanjiri toko buku. Ada yang berusaha mengambil alih posisi HP di mata pembaca, ada pula yang sekadar mengisi ruang pasar pembaca yang sudah terlanjur ketagihan dengan jenis novel fantasi semacam ini.
Memang, sebagian besar dari novel fantasi yang diminati dan diburu para pembaca tersebut adalah novel terjemahan. Sebut saja seri The Secret of The Immortal Nicholas Flamel karya Michael Scott, The Spiderwick Chronicles karya Tony Di Terlizzi dan Holly Black, seri Septimus Heap karya Angie Sage, Maximum Ride karya James Patterson, The Magician’s Guild karya Trudi Canavan, atau yang sudah lebih dahulu melegenda seperti The Chronicles of Narnia karya C.S. Lewis dan The Lord of the Rings karya JRR. Tolkien. Lantas di manakah penulis novel fantasi lokal? Bukan tidak ada, namun mungkin kurang terdengar dan terpromosikan dengan baik. Mungkin kamu pernah selintas membaca judul-judul seperti Para Penunggang Petir karya Muhamad Sadra, Misteri Pedang Skinheald karya Ataka, Sang Penandai karya Tere Liye, Armageddon Knight karya Lucky S. Mamusung. Itulah beberapa judul novel fantasi karya anak negeri.
Apa, sih, sebenarnya definisi novel fantasi itu? Secara umum, menurut jenisnya, karya sastra bisa dibedakan menjadi dua kelompok: imajinatif dan non-imajinatif. Sastra non-imajinatif biasanya lebih banyak menggunakan unsur faktual daripada khayalan atau imajinasi dan menggunakan bahasa yang cenderung denotatif alias lugas. Sedangakan satra imajinatif lebih banyak menggunakan unsur khayali atau imajiansi dan menggunakan bahasa yang konotatif. Nah, novel fantasi masuk dalam kategori sastra imajinatif ini.
Apa sebenarnya yang membuat novel fantasi begitu diminati oleh para pembaca? Alasannya beragam, ternyata. Menampilkan daya imajinasi tingkat tinggi, bahasanya enak dan mudah dicerna, sangat detail dalam menggambarkan suasana, jalan ceritanya penuh kejutan, adalah beberapa alasan yang dikemukakan oleh para penikmat novel jenis ini.
Pada dasarnya, novel fantasi memang menggabungkan dunia kenyataan hari ini dengan imajinasi yang digali dari mitos dan sejarah suatu negeri, bahkan imajinasi murni temuan sang penulis. Gabungan realita dan imajinasi tersebut dikemas dalam jalan cerita yang selalu mengundang rasa ingin tahu pembaca, dengan berbagai petualangan atau misteri-misteri yang harus dipecahkan para tokoh dalam cerita tersebut.
Setiap karya secara tidak langsung adalah manifestasi dari cara pandang dan latar budaya sang penulisnya. Dalam HP, misalnya, si penulis menggunakan berbagai materi yang berasal dari mitos dan legenda yang ada di lingkungan tempatnya berasal. Mitos dan legenda tersebut dikreasi ulang menjadi suatu hal yang menarik dan ikut menghidupkan suasana cerita. Pembaca tidak lagi terkesan seperti membaca dongeng lama pengantar tidur atau kisah-kisah seram yang biasa disebar luaskan untuk membuat anak kecil tidak berkeliaran di malam hari.
Proses penggalian sejarah dan legenda lokal inilah barangkali yang masih terasa kurang dalam novel-novel fantasi karya penulis Indonesia. Mereka akhirnya lebih memilih untuk mengikuti alur dan model penyajian yang hampir percis sama dengan novel-novel fantasi terjemahan. Entah dengan alasan mengikuti tren pasar, atau mungkin juga memang menjadi request dari penerbit yang mengeluarkannya. Akhirnya, kebanyakan novel fantasi lokal selalu berujung di garis finish sebagai follower total yang menghilang seiring usainya batas pemajangan di toko buku. Yah, meski faktor-faktor lain seperti promosi yang kurang maksimal juga cukup memengaruhi kondisi ini.
Pro-kontra adalah hal yang biasa. Tak semua orang juga, ternyata, menggemari dan mengapresiasi bacaan fiksi jeni ini. Novel fantasi dianggap tidak mendidik, membuat anak-anak yang membacanya menjadi percaya dan terbiasa dengan hal-hal magis seperti mantra dan ramuan-ramuan ala penyihir hitam serta berbagai kekuatan supra natural yang bombastis. Novel jenis ini juga dikhawatirkan akan membuat pembaca anak-anak menjadi terlalu sering berkhayal dan semakin tak bisa membedakan batas realita dan rekaan semata.
Yah, dunia kan memang selalu akrab dengan dua sisi: positif dan negative. Setiap hal yang ada di sekitar kita pasti memiliki dua unsur itu. Membaca novel fantasi pastinya tidak melulu negatif dan tak bermutu. Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dan penegtahuan. Membaca novel fantasi yang penuh imajinasi secara tidak langsung bisa memancing imajinasi kita pula sebagai pembacanya. Imajinasi itu pada akhirnya akan bisa dikenbangkan menjadi ide-ide segar yang penuh kreativitas.
Dalam novel semacam ini pun kita bisa mendapatkan wawasan baru tentang tradisi, mitos, serta legenda negara tertentu. Legenda tidak selamanya khayalan atau dongeng semata. Di dalam legenda pasti tersebar serpihan-serpihan sejarah dan kondisi sebuah negara di masa lalu. Dalam legenda pula kita bisa memetik berbagai petuah bijak dan pesan-pesan moral yang patut diteladani. Jadi, jangan lupakan juga dongeng dan legenda asli Indonesia. Jangan hanya asyik dengan Unicorn dan Kaum Elf, namun terlupakan pada Sangkuriang serta kisah-kisah pewayangan. Nusantara ini tak kalah penuhnya dengan berbagai kisah dan legenda yang imajinasinya tak kalah jika dibandingkan dengan legenda tanah lain.
Pada akhirnya, pembaca pula yang mesti menyiapkan sendiri filternya, untuk memilah-milah hal mana yang patut dijadikan inspirasi kebaikan, dan hal mana yang biarlah menjadi pengetahuan semata. Jangan lupa juga, untuk setia mendampingi anak-anak kecil di sekitarmu, agar tidak malah bercita-cita mauk ke sekolah sihir Hogwart daripada sekolah unggulan di kotamu. Selamat berfantasi!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
“Siapa yang belajar sastra, maka akan halus hatinya (pekertinya).” -Ibnu Qayyim Al-Jauzizah.
Hmm ini referensinya diambil dari perkataan Ibnu Qayyim yg di mana ya??....Kayaknya menarik nih ^_^
Minta tolong share lebih lanjutnya. terimakasih
gara2 sempat ngetop sebagai tukang bikin skenario drama di kampus, saya pernah dimintain tolong sama sejawat buat mbaca karangan fantasi non komersilnya dia buat dinilai - katanya. yang saya tangkap, kok, ya karangannya dia itu mirip cerita rpg suikoden series; ada elf, dwarf, dan segala macamnya. saya juga nemu kalo novel2 fantasi karya penulis lokal juga lebih berkiblat pada dongeng ala barat. nggak ada yang inisiatif bikin tokoh jagoan yang menguasai sepasukan tuyul dan kalo terdesak (masalah finansial) bisa berubah jadi babi ngepet...
Mbak esfand, mau gak ana undang ke malang ? ngisi pelatihan menulisnya humas kamda.
apa beda novel fantasi dan novel inspirasi?
@kautsar: hemm, aku lupa dulu nemu di kitab apa, tar dicari lg deh.
@satch: huum, novel fantasi indonesia msh mengekor gtu, kurang greget jadinya
@andrik: siap ndrik, undang aja...
@yons: kalau novel fantasi itu jenis novelnya mas, kalau novel inspirasi ya bisa jenis novel apa aja yg mengisnpirasi
-esfand-
klo yg pernah gue denger sih, siapa yg belajar bahasa Arab, daya rasanya akan halus... klo ga salah itu kata imam syafi'i... dan klo orang arab belajar bahasa arab, apa yg dipelajari? klo ga kaidah ya sastranya juga...
CMIIW
Posting Komentar