Kamis, 29 Januari 2009

SHADOW INSIDE

:the esfand

“Perlawanan terhadap kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”
(Milan Kundera)

Sepekan sudah sejak bayangan itu pertama kali muncul secepat kilat mengitarinya. Meski telah tujuh hari berselang, namun nuansa dingin-hampa yang sempat merebak saat bayangan itu berkelebat masih kerap ia rasakan. Bukan, bukan sensasi rasa takut yang dirasainya itu.

Hari itu matari sedang terik-teriknya. Untung tak ada tugas lapangan yang tercatat dalam reminder-nya sehingga ia bisa bebas saja menikmati sejuk dingin napas penyejuk ruangan yang dipasang tepat di atas kursi putarnya.

“Ais, jangan lupa ya, artikel sejarah yang kemarin sudah diputuskan di rapat harus sudah ada di mejaku besok pagi.”
“Oh, besok ya? Hem, siap deh.”
“Tinggal nulis aja kan? Semua bahan sudah terkumpul, toh?”
“Lumayan.. .”
“Great. Sepertinya materi sejarah bisa jadi spesialisasimu selanjutnya.”

Celaka dua belas! Semua rekan kerjanya sesama redaktur sudah tahu bahwa ia tak pernah suka bergelut berlama-lama dengan tema-tema sejarah, pun menuliskannya meski hanya separagraf amatiran. Tak pernah ada yang mengerti mengapa. Dan sekarang mau tak mau ia harus mengerjakan artikel berinti sejarah. Tak panjang sebenarnya, hanya untuk dikonsumsi sekali duduk sekejapan pikiran.

Menjelang jatuhnya Ottoman dan kondisi sosiologis negara-negara di sekitarnya, begitu kurang lebih tema artikel yang harus rapi tersaji di meja Bapak esok paginya. Bagian dokumentasi telah menumpukkan beberapa referensi di atas mejanya. Laptop yang sedang ia hadapi pun telah penuh dengan berbagai berita dan tulisan yang di-browsing-nya sejak pagi tadi. Tapi, jangan kau lihat lembaran Microsoft Word-nya, karena cuma halaman kosong saja yang terpampang sejak tadi.

Jangan, jangan pernah menyangsikan background akademisnya. Ia seorang sarjana sejarah keluaran sebuah universitas negeri bergengsi di kotanya. Lulusan terbaik di fakultasnya malah. Tetapi, semua itu ternyata tak juga cukup untuk melancarkan jemarinya mengetik huruf-huruf di halaman Word yang tak juga terisi itu.

“Semua portal berita tak lupa menyajikan berita tentang penyerangan itu. Koran dan stasiun televisi juga. Sayang, tak pernah ada yang berani memasang badan langsung untuk membantu negeri itu terlepas dari cengekeraman berkepanjangan ini.”
Itulah detik, ketika sekelebat bayangan menerjangnya tepat di dada tiba-tiba. Dus, membekap pikirannya pula. Seketika itu juga ia merasa darahnya tak lagi merah-biru, namun berubah abu-abu kusam. Hati yang mendekam aman di relungnya, ia rasai mulai menciut mengempis. Jantungnya penuh debaran yang mendebur. Bukan, bukan karena takut yang menyelimuti, tetapi sebentuk rasa yang tak mampu ia pahami juga. Bahkan sampai bayangan itu begitu saja melonggarkan sergapannya.

Gelas air putih diraihnya dengan sisa getar yang masih nampak di jemarinya. Alih-alih meneruskan pekerjaan yang tak kunjung mampu ia selesaikan, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Santai melunglai lepas. Lalu-lalang manusia di sekitarnya perlahan menguar bersama hembusan sang penyejuk ruangan.

“Perjuangan mereka adalah perjuangan kita juga sebagai sesama saudara seiman.” “Tragedi ini adalah tragedi kemanusiaan yang tak mengenal sekat religi dan kebangsaan.” “Mereka hanya berusaha mempertahankan tanah airnya yang jengkal demi jengkal mulai direbut paksa oleh sang teroris.” “Negeri ini menjadi korban persekongkolan negara-negara besar yang mengaku dirinya digdaya dan modern, namun tak lebih hanya mempertahankan tradisi barbar yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan.”

Kutipan berita-berita yang dibaca dan didengarnya di berbagai media itu terngiang-ngiang tanpa henti. Membuatnya mengingati lagi saat ketika ia pertama kali menyerap kisah perjuangan rakyat Palestina dari buku-buku yang dibacanya dahulu. Geram dan gairah pemuda membuatnya tak henti mengutuki, karena baginya tak boleh ada yang serta-merta merebuti dan tanah milik orang lain, hanya karena mereka ingin menjadi pemilik barunya. Pun tak ada yang boleh merengguti nyawa orang lain, hanya agar ia menjadi digdaya di dunia.

Layaknya tabiat manusia kebanyakan, gairah empati itu pun perlahan meredup ditiup dateline kantor dan kerja-kerja penyambung napas duniawi. Kabar dan berita-berita serupa yang sesekali didengar atau dibacanya tanpa sengaja, ia konsumsi tanpa mencernanya dalam-dalam.
*****

Sepekan berselang sejak bayangan itu muncul pertama kalinya. Secepat kilat datang, menghanguskan sebentuk ego manusia zaman baru. Akhirnya artikel itu pun selesai ia kerjakan. Tentang konspirasi penjatuhan Ottoman, demi mewujudnya negara zionis. Tentang konspirasi pendirian negara Saudi, demi mewujudnya negeri israeliyat. Baginya, membayar dosa kelenaannya adalah dengan membuat pembacanya turut menyadari kelenaan mereka.

Ia berfirasat bahwa tak kunjung usainya silang sengkarut yang terjadi di jauh sana adalah infestasinya juga, yang sesaat pernah berpaling tak peduli. Padahal sebagian besar mereka adalah bagian dari dirinya juga. Tanpa belah, tanpa beda. Rerecehan di kantung depan ranselnya, dan dedoa kilat yang biasa ia kerjakan seadanya, mulai diyakininya akan mampu bertuah. Tuah yang berwujud hela napas yang lebih panjang bagi jiwa-jiwa di Tanah Filistin. Tuah yang akan semakin membentuk, jikalau ia sudi untuk sedikit memanjangkan dedoa itu, dan mengganti rerecehan dengan lembar-lembar kertas.

Ia tak kan berpaling lagi, atau bayangan itu akan merasuknya lagi.


Freedom for Filistin? No doubt!
Makassar, just now

1 komentar:

attien... mengatakan...

mbak.. aku tertegun membaca tulisan-tulisanmu. afwn selama ini nggak ma'rifat.