Jumat, 12 Desember 2008

MAKASSAR, PADA SUATU KETIKA

(bagian 3: bangunan dan wisata)

Sesungguhnya saya penikmat kunjungan ke tempat-tempat sejarah atau tempat dengan bangunan penuh tafsir ikonitas di dalamnya. Meski di lain sisi saya pun suka berpelesir ke tempat dengan panorama alam yang amboi. Ada beberapa tempat yang saya kunjungi selama saya berada disana.


Pantai Losari


Jangan membayangkan hamparan pasir dan ombak yang menjilati kaki-kaki, karena letaknya yang tak jauh dari bandar laut maka salah satu ikon Makassar ini pun berbentuk anjungan layaknya dermaga. Ada anjungan utama lengkap dengan huruf-huruf raksasa yang membentuk frase “PANTAI LOSARI” yang biasanya menjadi lokasi berfoto favorit bagi para pengunjung.


Tempat favorit saya adalah tembok rendah yang memanjang memagari tepian Losari.Matari tenggelam di tempat ini sungguh penuh dan merah, membuat saya betah berlama-lama duduk membaca di kala sore sambil menemani sang surya meradu perlahan.Kacang rebus dan pisang epe yang banyak dijajakan di sana bisa menjadi teman santai yang menyenangkan. Di malam hari, tempat ini juga menjadi tempat favorit saya untuk sekedar duduk-duduk menikmati hembus sepoi anging mamiri. Di suatu malam saya dan Panda malah sempat menyaksikan jam sesion di sebuah cafe tepi pantai yang menyajikan musik-musik ala balada pelaut timur, sambil berteman secangkir coklat hangat dan sepiring pisang goreng bertabur keju coklat.


JL Somba Opu


Tak jauh dari Losari kita bisa menemukan Jalan Somba Opu, semacam ruas jalan penuh toko-toko kerajinan layaknya Malioboro di Yogyakarta. Segala buah tangan khas Makassar dan daerah-daerah lain di Sulawesi bisa kita temukan di sini. Songket, sarung sutra, songkok Bone, sari markisa, replika pinisi, kacang ayam, minyak tawon, dan beragam lainnya.





Fort Rotterdam

Benteng ini terletak tak jauh dari Losari, merupakan bekas benteng asli kerajaan kuno yang diambil alih oleh Belanda sebagai salah satu benteng pertahanan lautnya. Bentuk lanskap benteng ini jika dilihat dari udara adalah penyu yang merayap ke laut. Ada beberapa museum berisi berbagai jejak dan peninggalan sejarah yang bisa kita kunjungi di dalam benteng.

Di sini pula Diponegoro menjalani penyekapan terakhirnya setelah dibuang dari tanah Jawa. Kelengangan yang menjadi aura dominan sekitar benteng membuat saya membayangkan suasana lampau ketika para serdadu Belanda masih berkeliaran memanggul senjata di tempat ini. Dan, seperti kebanyakan benteng tua, hembusan nuansa dan cerita mistis pun merambat dalam benteng ini.




Pulau Lae-lae dan Kayangan

Duduklah di tepi Losari maka akan terlihat bentangan pulau-pulau kecil yang seolah memartirkan dirinya sebaga penjaga terluar perairan Makassar. Mengingatkan saya pada gili-gili yang ada di Pulau Lombok, tempat saya sering menghabiskan liburan sekolah di masa kecil. Cuma Lae-lae yang sempat kujejaki lama, pulau-pulau lain hanya kukitari sepintas lalu. Lae-lae merupakan pulau tempat para nelayan bermukim. Meski tidak terlalu besar, pulau ini tampak padat dengan rumah-rumah nelayan beserta segala rupa peralatan melautnya yang kadang menjadi penghias teras rumah.


Bantimurung

Kupu-kupu, pasti itu hal pertama yang terlintas di benak Anda ketika mendengar nama tempat ini. Bantimurung terletak di Kabupaten Maros, salah satu dari dua kabupaten terdekat dengan Kota Makassar. Dari Makassar, saya dan kawan menggunakan sarana angkutan umum untuk pergi ke sana. Meski harus berganti-ganti pete-pete, bentangan alam khas daerah perbukitan yang terhampar di kanan-kiri saya seolah membayar impas rasa lelah akibat jauhnya perjalanan yang kami tempuh (maklum naik angkot, jadi ya muter-muter dulu, makanya jadi terasa jauh banget…). Ketika melewati salah satu lokasi penambangan karst, saya jadi berpikir berapa lama lagi keasrian ini mampu mempertahankan dirinya arena penambangan karst di mata saya ibarat perompak yang tidak hanya sekedar puas merampasi harta benda penumpang malang, namun juga merasa wajib untuk memusnahan kapalnya. Mungkin pembandingan yang terlalu sarkas, tetapi tabiat manusia memang terkadang tak bisa dibandingkan dengan apa pun, bukan?

Sampai di lokasi, kami langsung membeli tiket masuk dan mulai menghirupi udara segar bercampur tetes air terjun yang terbawa angin. Kupu-kupu beraneka warna tak jarang menemani langkah kaki kami menyusuri jalan setapak. Sayang, kamera saku saya tak kuasa menangkap gesitnya mereka berkelit. Sebenarnya kami berniat untuk melongok sekejap gua-gua yang ada di sekitar Bantimurung, namun apa daya derasnya hujan dan tunggul pohon besar yang jatuh menghalangi jalan membuat kami ikut berjejalan berteduh di naungan tepi jalan bersama pengunjung yang lain.

Ketika hujan hanya tinggal menyisakan peluhnya, kami pun segera melangkah ke tepian air terjun, dan..brrrr…dingin segarnya air terjun pun berhasil saya cicipi. Segala letih dan sakit (kebetulan saya sedang agak flu sebelumnya) seperti mengalir bersama aliran sungai yang tenang menjauh. Saya seperti tak mau menepi, inginnya terus berbaring di atas teras air terjun ditemani air yang segar melingkupi. Demikian juga Panda, lihatlah betapa ia tampak bagai putri duyung insap di tengah derasnya air itu hehe...

Puas menikati air terjun, kami menyempatkan diri membeli teh hangat dan jagung bakar, sambil melihat-lihat kios-kios penjaja aneka pernak-pernik bertuliskan “Bantimurung” dan beragam ukuran pigura berisi kupu-kupu aneka warna yang diawetkan. Tampak pula anak-anak kecil yang berlarian membawa semacam alat penangkap serangga, berburu kupu-kupu pasti. Jika suatu saat saya berkesempatan berkunjung kembali ke tanah Makassar, saya pasti akan datang ke Bantimurung lagi.


Mesjid Raya dan Al-Markaz
Well, kesannya tidak syahdu saja (?) kalau tidak menyempatkan diri mengunjungi dua masjid yang sejak awal menarik perhatian saya ketika melewatinya. Untung saja Liez bersedia dengan senang hati mengantarkan saya mengunjungi dua mesjid itu, di siang yang teriknya melelehkan mentega di atas meja. Masjid Raya berarsitektur khas mesjid-mesjid Cordova (atau pengaruh Byzantine ya?) dengan kubah besarnya dan warna-warni bumi-langitnya. Satu hal yang menarik perhatian saya, ketika berbaring di lantai dan enatap ke atas, adalah bentuk serupa bunga padma yang dilukis menjadi pusat dari kubah utama. Bentuk tumbuhan dan sesuluran memang bentuk yang lazim dipakai sebagai objek dalam arsitektur bernuansa Islam, tapi saya jarang menemukan bentuk yang mirip bunga padma, karena padma sejatinya bentuk yang sudah menjadi cirri kepercayaan lain. Entahlah, mungkin saya perlu membuka-buka buku lagi tentang sejarah distribusi bentuk seni.

Kesan yang berbeda saya dapatkan ketika mengunjungi Al-Markaz. Jika Mesjid Raya menjadi cerminan arsitektur Islam yang “barat” maka Al-Markaz mencerminkan sosok bangunan berarsitektur Islam yang “timur”. Warnanya yang dominan gelap dan sosoknya yang tegas bersudut engingatkan saya pada sosok bangunan tradisional di tanah ini. Saya pernah melihat sosok mesjid di Asia Selatan yang mirip bangunan Al-Markaz ini.

Balla Lompoa

Kebetulan sekali ketika saya berkunjung ke Makassar kemarin, di Kabupaten Gowa yang tak jauh dari Makassar sedang berlangsung “Festival Keraton Nusantara” yang bertepat di Istana Sultan Hasanuddin, Balla Lompoa. Kebetulan pula, orangtua Panda bermukim di daerah sekitar Balla Lompoa, jadi saya dan beberapa teman Panda meniatkan diri untuk bermalam terlebih dahulu di ruamah orangtua Panda, untuk kemudian berkunjung ke festival di pagi harinya. Rupa-rupanya si Panda ini masih berdarah ningrat (antara Kerajaan Bone atau Kerajaan Gowa saya lupa tepatnya yang mana karena penjelasan Ibu yang meski berbahasa Indonesia, namun berintonasi bugis-makassar dengan speed di atas rata-rata) menurut cerita Ibu kepada kami di rumahnya. Segaris darah bangsawan yang sampai detik ini masih menjadi status yang cukup berpengaruh, apalagi di saat para pemilik darah ini bertemu jodohnya. Semakin tinggi status kebangsawanannya, semakin besar pula uang panaik yang dilabelkan padanya.

Festival Keraton Nusantara berlangsung cukup meriah. Kami berkeliling mengunjungi stand-stand keraton peserta festival yang menyajikan beragam informasi sejarah masing-masing, lengkap dengan pernak-pernik khas daerah tempat keraton tersebut berasal.



Kami pun berkesempatan untuk masuk kedalam istana Sultan Hasanuddin yang sampai sekarang masih terpelihara keasriannya. Uniknya, sebelum beranjak ke ruangan dalam istana ini, para pengunjung perempuan diharuskan mengenakan kain sarung, dan pengunjung laki-laki diharuskan mengenakan songkok. Jangan khawatir, sarung dan songkok tersebut sudah disediakan oleh pengelola istana. Benda-benda kerajaan bernilai tinggi (seperti mahkota dan perhiasan emas lainnya) yang biasanya tak pernah dipajang, kali ini bisa dilihat oleh pengunjung yang datang. Menjelang terik tinggi, kami beranjak ke luar.

Mesjid Tua Katangka

Mesjid ini bernama Al-Hilal, merupakan mesjid tertua di Sulawesi Selatan. Letaknya masih di dalam wilayah Kabupaten Gowa. Model bangunannya khas kebanyakan bangunan mesjid tradisional di nusantara. Di dalam komplek mesjid juga terdapat komplek makam keturunan Kerajaan Gowa, selayaknya tipikal kebudayaan nusantara lampau yang kerap menyandingkan mesjid dengan makam para bangsawan atau pemuka setempat. Bentuk makamnya masih ada yang berupa kubur besar, khas kebudayaan nusantara yang masih terpengaruh kepercayaan pra-Islam.


Makam Sultan Hasanuddin dan Aru Palaka


Dua makam ini pun terletak di wilayah Gowa. Makam Sultan Hasanuddin berada satu komplek dengan makam raja-raja Gowa lainnya.
Makam Aru Palaka terletak tak jauh dari komplek makam raja-raja Gowa tersebut. Kami pun sempat berziarah ke makam ayah Panda, yang terhitung masih satu lokasi dengan komplek makam keluarga kerajaan lainnya.

Well, itulah beberapa tempat yang sempat saya datangi, tidak seberapa memang namun tetap mendapat tempa dalam catatan perjalanan saya. Mau lihat foto-foto sunset yang sempat saya tangkap di sana? maybe next time...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

huwaaa...pengen balik Makassar lagiiii. Kapan bisa nyampe sana lagi ya? T_T

Rosid Ridho mengatakan...

wew, panda serasa foto model brada di sana... ;D