Baru kali ini aku posting artikel yang bukan tulisanku sendiri. Dengan alasan ingin membuka perspektif baru tentang mantan penguasa negeri kita ini. Miris rasanya, mendengar dan melihat beberapa saat kemarin media di negeri ini memberitakan besar-besaran tentang detik-detik kematian mantan presiden kedua Indonesia. Berita yang bagiku sungguh terkesan tidak cover both side. Terlebih pula seolah tidak menghargai para korban tidak kekerasan dan penghisapan yang dilakukannya selama berkuasa. Kita memang harus menghargai jejak pembangunan fisik yang dilakukannya semasa berkuasa. Akan tetapi, haruslah pula dipahami secara adil beserta seluruh tindakan tiran yang dilakukannya.
Muthia Esfand
-------------------------------------------------------------------------------------
Soekarno - Sejarah yang tak memihak
WS Rendra
Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak
berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya. Selain
rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga
ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semua
mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat
berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar
penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua
saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat
secara langsung jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja,
mendapatkan Bapak (almarhum) sedang menangis sesenggukan.
" Pak Karno seda " ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di
Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari
kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu
KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat
loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono - Panglima
KKO - pernah berkata ,
" Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung
Karno, merah kata KKO "
Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno
menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa
dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh
KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti
Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend
Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini.
Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah
sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia
memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi
tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang
pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka
yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke
istana Bogor . Tak berapa lama datang surat dari Panglima
Kodam Jaya - Mayjend Amir Mahmud - disampaikan jam 8 pagi
yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam
11 siang.
Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian
dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan
kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.
" Het is niet meer mijn huis " - sudahlah, ini bukan rumah
saya lagi ,
demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu
Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma
Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim
Adjie diasingkan menjadi dubes di London . Jendral KKO
Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.
Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu
belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno
sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya.
Jenasah dibawa ke Wisma Yaso.
Di ruangan kamar yang suram,
terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan
di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan
mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta! dan Ali Sadikin -
Gubernur Jakarta - yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna
merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan
rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan
penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang
ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah
pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti
nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada
gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang
ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke
atas karpet di lantai di ruang tengah
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem
kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra
datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak
dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno
berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor
. Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang
Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir.
Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan
Cakrabirawa,
" Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa
Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara
yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan
jawaban".
"Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno,
penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan
pengobatan yang seharusnya diberikan. "
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga
perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970
serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah
terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B,
B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah.
Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal.
Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, " Bung
Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana
Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi
dari Kowad
"
( Kompas 13 Januari 2008 )
Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan
Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokter
dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan
masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih
membela kejahatan yang dituduhkan.
Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan
ketika tim
kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus
menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden !
Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin
bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang
menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah
mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa
meniupkan roh roh kebenaran ?
Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah
menjadi hakiki
karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu.
Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala Keterbukaan adalah pelaksanaan kata kata
( * WS Rendra )
Foto:http://bumisegoro.files.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar