"Tak ada celanya aku tinggal di rumah, tetapi yang aku lakukan ini untuk kebaikan manusia."
Adalah jawaban yang diberikan oleh Aisyah tatkala Ummu Salamah menasihatinya lewat sepucuk surat agar ia tidak ikut serta dalam perang Jamal yang ketika itu telah mencapai klimaksnya. Aisyah meyakini bahwa kepergiannya ke medan perang akan jauh lebih mendatangkan manfaat bagi umat ketimbang hanya berdiam berpangku tangan.
Dari kisah-kisah para sahabat, dapat kita cermati bahwa letupan-letupan kecil seringkali terjadi dalam interaksi antara shahabat dan shahabiyah terkait eksistensi kedua jenis tersebut. Para shahabiyah kerap melayangkan protes jika mereka melihat posisi mereka mulai dianggap sub-ordinat semata tanpa ada sebab yang jelas. begitu pula jika hak mereka dikurangi tanpa sebab yang jelas hanya karena mereka seorang perempuan. Padahal pengurangan tersebut tidak disyariatkan dalam Islam.
Perjuangan perempuan mulai terformalisasi dan terstruktur sejak posisi perempuan mulai dianggap sebagai kaum kelas kedua yang bebas untuk di diskriminasi dan dieksploitasi. Di Barat, perjuangan perempuan pertama kali bergolak di Perancis. Ketika itu, perempuan benar-benar didzalimi hak-haknya secara keseluruhan. Pergolakan itu kemudian diikuti secara sistematis di negeri-negeri lainnya. Pergolakan itu pun terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di Mesir, misalnya. Pergolakan perempuan lebih dikarenakan infiltrasi nilai selain Islam yang menganggap bahwa perempuan harus dibebaskan secara total dari aturan-aturan religi yang membelenggu kebebasan, seperti pemakaian hijab, beraktivitas publik, mengeyam pendidikan setinggi mungkin di lembaga-lembaga pendidikan umum, dan lain sebagainya. Susupan nilai luar inilah yang akhirnya merubah drastis sosok muslimah yang sesuai dengan kaidah Islam menjadi sosok perempuan yang mengejar kebebasan semata.
Dalam perkembangan selanjutnya, terminologi gerakan perempuan radikal tersebut, yang lebih mengejar idealisme untuk melebihi laki-laki di segala hal, mulai ditinggalkan karena benar-benar menjadikan perempuan tersebut jauh dari sosok fitrahnya. Gerakan perempuan mulai lebih moderat dan proporsional. Gerakan perempuan terkini adalah gerakan pengarusutamaan gender (PUG) yang dijadikan agenda aksi secara transnasional. Definisi PUG yang dipakai di Indonesia adalah versi United Nation Economic and Social Council (1997) yaitu sebagai berikut.
“Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program dalam seluruh lingkup ekonomi, politik, dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan, dan ketidaksetaraan tidak berlanjut.”
Sosialisasi dan penyebarluasan PUG memang selayaknya tidak saja dilakukan dikalangan perempuan, namun juga di kalangan laki-laki. Hal ini agar prinsip PUG ini dapat dipahami bersama oleh kedua jenis tersebut, sehingga menghindari pemahaman-pemahan yang bersifat sexist dalam menangani problematika perempuan yang ada.
Dalam konteks Islam, gender dipahami sebagai suatu bentuk kesetaraan yang manhaji, artinya menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrah amanah dan karakteristik yang telah digariskan dalam Islam. Ketika laki-laki dan perempuan sama-sama menjalankan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing maka tidak akan ada lagi penindasan berlatar belakang jenis kelamin tertentu. Perjuangan muslimah dalam ranah ini adalah perjuangan untuk mengembalikan hakikat individu tadi, dan bukanlah perjuangan berarus feminisme radikalis yang mengejar kesetaraan yang sama di semua aspek. Ketegasan cara pandang tentang isu gender ini menjadi landasan dalam mensikapi berbagai wacana seputar gender yang digulirkan oleh elemen perempuan lain.
Hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam Islam memang berbeda dimensi dan implementsinya. Namun, kesemuanya pastilah berdasarkan kekhasan dan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing jenis. Berbagai problematika ketidakseimbangan yang terjadi di sekitar kita bukanlah berarti segala yang telah digariskan Allah tidak tepat, melainkan karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu jenis sehingga keluar dari lingkaran sunatullah yang seharusnya tercipta. Sayangnya, ada sebagian pihak di kalangan umat Islam yang menganggap bahwa tafsiran-tafsiran Al-Qur`an dan As-Sunnah lah yang seharusnya diperbaharui agar mengikuti tren perkembangan kondisi kekinian. Sebagai panduan langsung dari Allah SWT, tentulah kedua sumber nilai Islam tadi tidak bisa serta-merta dipaksakan untuk selalu mengikuti egoisme manusia. Sebagai panduan hidup, keduanya tentu saja harus bernilai konstan agar bisa dijadikan sebagai acuan dan penjaga keseimbangan hidup.
Nb: tulisan lama yang pernah dipublikasikan di sebuah media, biar jadi satu aja di blog ini ma tulisan yang lain.
Foto: doc pribadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
asaalamu alaikum.. hmmm nikmatnya berukhuwah.... : mb keren mba' nanti nurul culik yah taro di blog ku.. nanti bilang mb Esfand yang buat......
Nurul
udah baca buku Ali Syariatu belum yg Fathimah is Fathimah? kayaknya bisa lebih menjelaskan peran wanita dalam islam
Posting Komentar