Sebenarnya, buku 29 Gifts itu sudah lama kubeli. Awalnya cuma sekadar sebagai salah bahan referensi saat terpikirkan untuk menulis buku tentang “the power of positive sharing”. Sejak Ramadhan kemarin buku itu masuk daftar panjang buku-buku yang belum sempat kubaca sejak dibeli. Tanggal 31 kemarin, saat packing perlengkapan untuk pergi ke Tasik, untuk jadi salah satu pembicara di rangkaian acara Islamic Fair di sana, kupikir tak ada salahnya aku membawa buku itu, hitung-hitung menambah referensi materi sedekah muslimah yang akan kubawakan di sana.
Menjelang detik pergantian tahun Masehi, aku mulai membuka lembar-lembar awal buku itu. Yah, siapa tahu kantukku bisa cepat menghampiri, meski diiringi bunyi petasan dam kembang api yang seperti bahagia bisa dapat kesempatan memeriahkan malam yang biasanya lengang. Kisah awal di buku itu sungguh menarik minatku untuk tak sekadar membolak-balik halaman tanpa minat. Buku itu tentang seorang perempuan yang divonis mengidap penyakit multiple sklerosis, semacam penyakit yang menyebabkan kerusakan saraf tulang belakang, yang membuatnya terjungkir drastic dari perempuan karir khas tipikal barat menjadi perempuan ringkih yang berjalan saja butuh tongkat peyangga. Ditambah lagi dengan depresi berkepanjangan akibat hilangnya berbagai fungsi koordinasi tubuh dan pikiran. Pada suatu ketika, si perempuan itu mendapat saran dari seorang penyembuh untuk melakukan terapi 29 pemberian selama 29 hari.
Entah kenapa, tanggal 1 dini hari, saat terbangun dan menyempatkan diri untuk melakukan shalat tahajud, tercetus keinginan untuk mencoba terapi 29 pemberian itu. Entah apa yang ingin kesembuhkan dari diriku. Yang jelas tiba-tiba saja keinginan itu begitu kuat menyeruak. Yah, mengapa tidak, toh tak ada ruginya. Begitu pikirku.
Pemberian Hari Pertama: Berbagi Tips dan Permen Fox
Pagi itu aku dijadwalkan untuk memberikan workshop ringan tentang woman self defense yang selama ini memang menjadi salah satu konsentrasiku. Pesertanya para pelajar dan mahasiswa di Tasik. Tips dan cerita yang kubagi pada mereka standar saja seperti workshop serupa yang sudah sering kuisi. Tentang kriminalitas terhadap perempuan, tentang kisah-kisah korban kriminalitas dan pelecehan seksual, tentang tips praktis dan motivasi untuk memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat. Senang rasanya bisa berbagi sedikit hal yang kumiliki.
Selepasnya, sambil menunggu pembukaan acara, entah kenapa aku ingin login akun facebook-ku di ponsel. Ternyata, ada inbok balasan dari seorang kawan yang baru kukenal lewat sesame anggota komunitas traveler internasional couch surfing. Beberapa hari sebelumnya memang aku mendapat message dari seorang couch surfer di Finlandia. Ia seorang praktisi woman self defense di negaranya. Ia ingin berkenalan dan berbagi cerita tentang aktivitas woman self defense yang sama-sama kami lakukan. Ia juga bercerita tentang seorang perempuan bernama Dhiviya yang tinggal di India, yang juga memiliki aktivitas yang sama dengan kami berdua. Dalam message balasanku, kucantumkan link dari sebuah rekaman repotase tentang workshop dan profil singkatku yang dimuat di website sebuah televise jaringan di Belanda.
Tak kusangka, link itu ternyata ia bagi ke temannya yang ada di India itu. Dan Dhiviya akhirnya berkirim pesan sendiri kepadaku lewat facebook. Ia bercerita bahwa ia telah melihat video tentangku itu dan sangat tertarik untuk menambah kenalan di negara lain di Asia yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Inbok balasannya pagi ini bercerita tentang sebuah jaringan organisasi nirlaba yang berpusat di Kanada, yang salah satu fokusnya adalah tentang hal kami lakukan saat ini. Sungguh, inbok itu membuatku makin bersemangat untuk mengembangkan woman self defense ini di Indonesia.
Tak lama setelah itu aku bergegas mempersiapkan diri untuk acara pembukaan fair. Saat duduk di deretan belakang, di depanku duduk dua orang anak kecil. Yang satu sedang makan lollipop, yang satu lagi tampak curi-curi pandang ke arah lollipop tersebut. Kebetulan, di saku rokku ada dua butir permen fox. Langsung saja aku bertanya pada si anak yang tak punya permen itu, “Dek, mau permen?” ia menjawab dengan anggukan dan senyum lebar. Senyum yang semakin merekah saat menerima sebutir permen dariku. Senyum yang menambah energi positifku hari itu.
Sore harinya, aku menjadi pembicara pada acara talk show yang sekaligus membedah salah satu buku yang kutulis. Selepasnya, aku buru-buru membereskan ransel yang kubawa karena rencananya aku akan langusung pulang ke Jakarta. Saat berpamitan, salah satu panita menghulurkan sekantung penuh oleh-oleh khas Tasik. Sebuah pemberian yang tentu saja kutrima dengan senang hati.
Saat sudah duduk di atas bus yang membawaku kembali menuju Jakarta. Aku bersyukur pada Allah atas limpahan energi positif yang kurasakan seharian ini. Serasa bagai disiram cahaya yang membuatku merasa bahagia dan damai. Tak ada emosi negatif sedikitpun yang meletup dari diriku hari itu. Hal yang amat jarang terjadi. Di tengah perjalanan, saat bus berhenti untuk istirahat makan. Perutku terasa nyeri oleh dismenore yang kudapat di hari pertama menstruasi. Karena tak berminat untuk makan malam, aku berkeliling ke lapak-lapak penjual indomie rebus dan minuman hangat yang ada di depan restoran. Aku ingin minum teh hangat. Ternyata mereka hanya menyediakan kopi atau kopi susu instan. Aku akhirnya berdiri saja di depan bus.
Tiba-tiba ada seorang penjual asongan yang menghampiri dan menawarkan rentengan dagangannya berupa tahu, kacang asin, dan lain-lain. Aku bertanya padanya dimana aku bisa membeli teh hangat. Dia lantas berkata,”Teh tawar kan? Sebentar saya ambilkan.” Si abang penjual tahu itu pun bergegas pergi, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa seplastik teh hangat lengkap dengan sedotannya. Ketika kutanya berapa harus kubayar untuk seplastik teh itu, dia menjawab, “Ga usah, Teh. Cuma teh tawar kok.” Karena tak yakin dengan jawabannya aku kembali bertanya dan ia lagi-lagi menjawab yang sama. Akhirnya aku buru-buru berterimakasih padanya dan langsung membeli satu plastik kecil tahu yang dijajakannya. Ternyata berkah Allah masih terus melimpah padaku hari itu.
Kalau kupikir lagi, mungkin ini salah satu sebabnya Allah menebar begitu banyak sentilan agar manusia selalu ringan memberi dan berbagi pada sesama dan semestanya. Pemberian yang tulus akan menerbitkan senyum bahagia pada kedua belah pihak. Senyum bahagia akan membuat suasana hati menjadi lebih nyaman. Suasana hati yang nyaman tentunya akan membuat pikiran menjadi lebih jernih sehingga benang kusut masalah pun terurai satu persatu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar