Senin, 10 September 2007

24

Matahari sedang terik-teriknya, pantas saja semua orang di jalanan kota semakin merapatkan mantelnya. Kesibukan kota hari ini, seperti biasa selalu sama sekali berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hari ini sebagian besar warga kota menjejali perpustakaan satu-satunya yang ada di kota itu. Ada yang tekun membaca novel cinta, ada yang membalik-balik sambil lalu sebuah ensklopedia, ada yang masih termangu ragu memilih buku yang cocok untuknya, bahkan ada yang hanya mengobrol saja. Benar-benar lain dari hari sebelumnya.

“Apa yang sedang kau baca, Tan?” tanya seorang wanita muda bergaun biru langit kepada pemuda yang terlihat serius menghadapi tumpukan buku tebal di sudut ruang baca itu.
Sekilas pandangan lelaki yang dipanggil itu menyapu dada kiri sang wanita yang telah mengambil tempat di hadapannya. Tifa, begitu nama yang terbaca pada sulaman di dada sebelah kiri sang wanita.

“Ah, Tifa. Tidak, aku hanya melanjutkan membaca buku-buku yang kemarin telah kubaca sekilas,” jawab Tan sambil menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.
“Bagaimana kau bisa ingat kalau membaca adalah pekerjaan yang belum tuntas kau kerjakan kemarin? bukankah kau juga warga kota ini yang setiap hari selalu berganti ingatan?” selidik Tifa penuh keheranan.

“Aku tentu warga kota ini. Buktinya setiap kali bangun di pagi hari masih juga kudapati buku harianku di bawah tempat tidur,” ujar Tan sembari mengeluarkan sebentuk buku tebal lusuh bersampul kulit dari dalam baju hangatnya.

“Ooh…kau menulis, Tan?! bukankah itu terlarang?! bagaimana jika ada yang melihat?!” pekik Tifa tertahan melihat buku harian yang dipegang erat oleh kawannya itu.
“Ssstt…jangan histeris begitu! bisa-bisa semua orang benar-benar akan tahu bahwa aku menulis!” ucap Tan cepat berusaha menenangkan Tifa yang terlihat semakin gelisah.

Tiba-tiba lonceng tanda jam membaca telah usai menggema nyaring di seluruh bagian gedung perpustakaan. Seperti tercantum di Plakat Peraturan Kota yang berdiri kokoh di tengah kota, warga kota hanya boleh membaca di perpustakaan selama lima jam saja setiap harinya.

“Ah, waktunya telah habis. Mari kita segera pergi,” ajak Tifa setengah beranjak dari kursinya. Sejurus kemudian ia tertegun melihat Tan yang sambil menoleh ke segala arah sekilas mencoretkan penanya pada halaman setiap buku yang ada di hadapannya.
“Baiklah, mari kita pergi. Bagaimana kalau kita lanjutkan bincang-bincang ini sambil makan di taman kota?” ajak Tan kemudian.

“Tentu, pasti menyenangkan. Tetapi, apakah kau bisa mengingat dimana letak taman kota itu?” tanya Tifa sambil berjalan berdampingan dengan Tan.

“Aku tidak ingat, seperti juga engkau. Namun, aku menggambar denahnya dalam buku harianku. Cerdas, bukan?” sahut Tan sambil tersenyum simpul.

“Ah, Tan, ternyata engkau mencatat setiap detil dalam setiap hari yang kau lalui. Lambat laun engkau pasti akan terhimpit masalah…” tukas Tifa datar.

“Tidak. Aku hanya mencatat yang penting saja, seperti batas halaman buku yang kubaca di perpustakaan, alamat tempat-tempat penting di kota ini, serta peristiwa yang kuanggap layak untuk ditulis. Aku tak bisa banyak menulis. Kau tentunya juga membaca peraturan di taman kota itu. Aku hanya letih menerima kenyataan pahit menjadi bagian dari warga kota ini yang entah mengapa seperti mendapat kutuk saja! Aku yakin, pagi hariku pasti kubuka dengan pertanyaan sama seperti yang kuajukan pagi tadi di ruang makan rumahku kepada dua orang yang kujumpai disana: Apakah kalian Ayah dan Ibuku? Dimanakah ini? kemudian kudapati mereka pun menggeleng bingung tanda membenarkan. Kalau bukan karena buku harian kesayanganku ini…”

Kedua muda itu berjalan beriringan menuju taman kota. Toko-toko di sepanjang jalan utama kota masih terlihat riuh. Kota X memang selalu terlihat ramai, seramai pasar malam pada pembukaan perdananya. Namun, tiada yang menyadari hal tersebut. Entah sejak kapan bermula, Kota X dikenal sebagai satu-satunya kota yang seluruh penduduknya memiliki banyak keanehan yang tidak terdapat di kota-kota lain seantero antah berantah ini.

Mereka adalah pelupa, pelupa yang sangat parah. Rentang waktu ingatan mereka hanya 24 jam saja. Hari berikutnya, mereka terbangun persis seperti bayi yang baru dilahirkan. Tiada yang bisa mengingat nama diri, nama pasangan dan anak-anaknya, pekerjaan, serta detil-detil lain dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya, setiap orang diharuskan menyulam nama diri pada setiap pakaian yang mereka miliki agar mempermudah orang yang ingin menyapa.

Anehnya, setiap warga kota tetap menyimpan satu ingatan yang sama: Plakat Peraturan Kota. Maka kesanalah berduyun-duyun mereka pergi setiap pagi. Pada plakat yang terbuat dari baja itu, tertulis lima peraturan yang harus ditaati setiap warga kota. Bunyi peraturan yang tertulis itu adalah: Atas nama kuasa, setiap warga kota diharuskan untuk memiliki dan memberi nama setiap keturunannya dengan nama berawalan huruf T. Setiap warga kota hanya diperbolehkan membaca dimana saja lima jam setiap harinya, warga kota juga tidak diperbolehkan menulis apapun dan dimanapun. Setengah dari penghasilan setiap orang harus diberikan pada Pemegang Kuasa yang harus dimasukkan ke dalam guci akik di pelataran plakat. Setiap warga diharuskan untuk hidup sederhana dan senantiasa bersabar menjalani hidup.

Apa hukumannya jika salah satu dilanggar? semua pakaiannya yang bersulam nama akan direnggut paksa untuk diganti dengan pakaian polos tanpa nama, kemudian ia akan dibuang selamanya ke ruang bawah tanah yang diberi tajuk Lembaga Pemulihan Kemanusiaan.

“Kau mau kue telur, Tan? Aku membawanya dari rumah,” tanya Tifa setelah keduanya menghempaskan tubuh di sebuah bangku taman berwarna hijau tepat di depan Plakat Peraturan Kota.

Tan menggeleng pasti tanda setuju. Pandangannya mulai menelusuri baris-baris peraturan yang tertulis pada tugu megah di hadapannya. Jam besar di atas plakat menunjuk pukul 06.00. Perlahan kebimbangan mulai menyusup dalam benaknya. Siapa kiranya yang merancang peraturan ini? pikirnya dalam diam. Sebaris kalimat yang tadi sempat mengusik angannya ketika membaca sebuah buku di perpustakaan, kembali menghampiri. Milan Kundera, begitu nama penulis buku itu. Dalam salah satu bagian bukunya ia menuliskan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Agar bisa dibaca lagi, ungkapan itu segera ditulisnya dalam buku hariannya.

“Apa yang sedang kau lamunkan, Tan?” tanya Tifa sambil menyodorkan sebongkah besar kue telur pada Tan.

“Aku sedang bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang merancang peraturan kota ini. Mengapa pula warga kota ini hanya memilki rentang ingatan 24 jam saja. Aku sudah mulai bosan dengan semua ini, Tif. Aku bosan berpura-pura mengajukan pertanyaan konyol yang sama setiap harinya pada kedua orang tuaku, padahal sebelum turun ke ruang makan aku lebih dahulu membuka buku harian yang setiap tidur selalu kudekap erat. Dan, coba tebak? perlahan aku mulai bisa mengingat apa saja yang telah kulakukan di hari sebelumnya. Aku bermaksud mendatangi Pemegang Kuasa, untuk menyampaikan usulan agar setiap warga boleh membaca dan menulis sesuka hati sepanjang waktu. Aku yakin itu satu-satunya cara untuk terbebas dari kondisi anomali ini,” jelas Tan berapi-api.

Raut muka Tifa menampakkan keterkejutan yang nyata. Ia tidak menyangka Tan berani melanggar peraturan kotanya. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah tahu mengapa tiba-tiba saja timbul keinginan untuk mendatangi meja tempat Tan tadi membaca di perpustakaan. Tentu saja ia tidak ingat apakah ia telah mengenal pemuda itu sebelumnya. Ia hanya mengikuti intuisi samar yang lantas menggerakkan langkahnya menghampiri.

“Oh, Tan. Buang jauh-jauh pikiran itu! apakah kau mau dimasukkan ke dalam ruang bawah tanah itu?! Sudahlah, jalanilah saja kehidupan kita ini. Mungkin memang beginilah sebenarnya sebuah kehidupan. Terima saja apa yang sudah digariskan, toh orang-orang tua kita juga telah menjalaninya sejak lampau,” ujar Tifa mencoba meredam gejolak yang ada dalam diri Tan.

“Aku ingin melawan, Tif. Melawan belenggu lupa yang bisa jadi sengaja diikatkan pada diri setiap kita. Aku ingin selalu bisa mengenang setiap hal yang kulakukan kemarin. Aku ingin selalu membawa mimpi yang telah susah payah kucetuskan kemarin dan hari ini. Aku tidak ingin lagi menggantungkan ingatan pada buku harianku, seolah otakku tersimpan dalam lembarannya,” jawab Tan meluapkan semua asa.

“Entahlah, Tan. Semua itu terdengar begitu utopis bagiku. Semustahil menghancurkan plakat baja kokoh di depan kita itu. Meski jujur semua gagasanmu itu terdengar merdu di telingaku. Barangkali itulah mimpi setiap warga kota. Bangun tidur tanpa migrain akibat kebingungan yang sangat tentang jati diri, ruang, dan waktu hidup mereka. Tiada pemuda-pemudi yang berani jatuh cinta di kota ini, karena hari selanjutnya rasa itu telah pudar meruap sama seperti ingatanyang lain. Hanya satu ingatan yang tidak,” tukas Tifa lirih sambil mulai mengemasi tas rotan kecil yang tadi dibawanya.
“Kau mau pulang?” tanya Tan dengan nada penuh keengganan.

“Ya, sudah terlalu lama aku berada di luar. Aku lelah. Entah benar atau tidak, tetapi sepertinya ini hari yang begitu membahagiakan bagiku. Aku tidak tahu pasti, hanya merasa demikian. Tentu saja karena percakapan dan pertemuan kita ini pasti. Sampai jumpa, semoga saat itu mimpimu tadi telah menjadi nyata,” sahut Tifa sambil berdiri menenteng tas rotan.

Tan tersenyum penuh makna mendengar jawaban Tifa. Hanya senyum itu saja yang mengiringi langkah-langkah Tifa yang semakin beranjak menjauh dari bangku taman yang kini hanya menopang dirinya seorang.

Perlahan ia mneyembulkan sedikit sampul buku hariannya dari dalam baju hangatnya. Sudah pasti ia akan menulis kisah hari ini di dalamnya, seperti juga kisah-kisahnya bersama Tifa di hari-hari yang lalu. Perih tiba-tiba menusuk bagian terdalam hatinya. Sampai kapan ia harus mengulang mimpi tersebut di setiap perjumpaannya dengan Tifa? Buku hariannya telah hampir penuh oleh kisah perjumpaannya dengan tifa. Cerita yang sama, tempat yang sama.

Ironis, selama hampir satu tahun hubungannya dengan Tifa hanya sampai pada tahap perkenalan. Setiap hari adalah perkenalan, karena esok hari Tifa tentu saja telah melupakan apa yang terjadi hari sebelumnya. Perkenalan yang dilanjut dengan paparan mimpi Tan untuk menjadi pahlawan pelawan lupa, dengan harapan bahwa Tifa mau mengikuti jejaknya.

Senja telah lama berganti kelam, namun Tan masih saja duduk di depan plakat kota. Ia sedang mengumpulkan segenap asa, cita, dan cintanya untuk sekali lagi menghadapi hari esok. Sekali lagi mengulangi perkenalannnya dengan Tifa.
“Hmm, Kundera, aku pasti akan mengikuti seruanmu…” ucap Tan lirih, selirih angin malam yang mulai menghembus perlahan. Seperti ingatan warga kota yang perlahan meruap pergi.

~the esfand~

1 komentar:

meika sari mengatakan...

wah, cerpennya bagus bennner.....