Kamis, 22 Maret 2012

Persimpangan




“Seribu jalan memutar itu dibuat dengan satu tujuan, menghindari kenyataan.” ~Anonim



“Halo, kamu lewat mana, sih, kok lama banget nggak balik-balik?”
“Iya, Kak, bentar lagi sampai, kok.”
“Memang tadi lewat mana?”
“Udah ya, Kak, jalan lagi ramai.”
“Oke, hati-hati.”

Kalau dihitung-hitung, ini sudah kelima kalinya Ara menampakkan kebiasaan barunya. Biasanya, setiap kali aku menyuruhnya pergi berbelanja kebutuhan tak terduga untuk kafe kecil kami, tak lebih dari setengah jam kemudian Ara sudah menyorongkan tas belanja daur ulang berwarna biru itu, penuh dengan barang-barang pesananku. Itu dulu, lima hari belakangan ini entah mengapa jam tangan kami sepertinya tidak sinkron lagi, Ripcurl miliknya setengah jam lebih lama dibanding Elle merahku.

Pada mulanya, aku tidak terlalu memperhatikan perbedaan itu. Tapi, hari ini ketika barang yang kuminta untuk dibeli itu benar-benar mendesak untuk segera sampai di hadapanku, aku baru menyadari jika waktu belanja Ara menjadi setengah jam lebih lama dari biasanya. Apakah hal ini sebegitu penting untuk dicari tahu alasannya? Untuk sementara, kuanggap tidak.
***

Sore ini suasana kafe kecil kami cukup padat, hampir semua meja sudah terisi. Meskipun tidak terletak di jalan utama,kafe kami sudah cukup dikenal oleh kaum muda kota ini. Racikan teh dan kopi menjadi menu utama yang membuat jumlah pelanggan setia kami semakin bertambah. Selain aneka kue buatan sendiri dan makanan berat sederhana lainnya. Aku sengaja meletakkan van-kithcen, yang menjadi ikon utama kafe kami, tepat di pelataran depan. Aroma sosis kedelai buatan sendiri yang digoreng di atas lembaran plat besi panas mirip teppan, menguar harum bersama bawang bombai tumis yang berwarna cokelat karamel.

Pembeli boleh memilih sendiri, apakah sosis panas itu akan dimakan bersama roti gandum segar yang dipanaskan sekilas di atas teppan, atau dimakan bersama kombinasi telur ceplok setengah matang, nasi merah, wortel rebus, dan taburan lobak kering. Margarin yang terpapar panasnya wajan, membuat aroma setiap bahan yang ditumis merajalela hingga ke jalan besar dekat kafe. Konon, menurut pelanggan baru, wangi masakan dari van itulah yang membuat mereka ngotot mampir dan mencicipi.

Entah mengapa, ekspresi bahagia sekaligus terkesiap dari pelanggan yang memegangi bungkusan kertas berisi roti dan sosis panas, atau tampang lega seorang pelanggan setelah meneguk banyak-banyak segelas es teh mint segar racikan Ara.

Pesanan baru belum lagi datang, ekor mataku menelusur perlahan, mencari sosok adik perempuanku itu yang tiba-tiba saja lenyap dari van. Ah, rupanya ia sedang duduk sendiri di bangku taman yang ada di kebun bunga kecil di samping kafe. Aku semakin merasa keanehan Ara akhir-akhir ini. Raut wajahnya seperti langit yang berusaha mempertahankan berkas sinar mentari, meski mendung sisa hujan tetap tak mau pergi. Ia berusaha tetap teduh ceria, tapi nuansa sendu tetap bisa terbaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Masalah temankah? Atau Kekasih? Setahuku, Ara belum punya seseorang yang dipanggilnya kekasih.

Sejak orangtua kami meninggal beberapa tahun silam, kami berdua akhirnya membuka kafe ini sebagai ladang nafkah utama. Berbekal resep-resep keluarga warisan nenek dan bunda, yang untungnya dulu ditulis bunda dengan rajin dalam buku catatan tebalnya, dengan nekat tanpa pengalaman kami menjalankan kafe ini. Imajinasi kami berdualah yang membuat resep-resep tua itu menjadi bernuansa retro.

“VINARA”, nama kafe kami. Akronim dari dua kata panggilanku dan Ara. Awalnya, banyak yang sangsi, apa bisa sepasang kakak-adik yang dua-duanya sama-sama perempuan bisa bangkit dan menghidupi dirinya dari kafe semacam ini? Nyatanya? Kami bisa menyelesaikan kuliah dan menghidupi diri dari kafe.

Celaka! Aku hampir lupa kalau persediaan susu segar sudah menipis, padahal ini Sabtu sore, yang berarti kafe akan semakin padat hingga jam tutup nanti. Seperti biasa, ini tugas Ara.

“Ra, Ara. Ara!”
Olala, apa sebenarnya yang anak ini lamunkan, sampai-sampai aku harus menaikkan nada satu oktaf begini.
“Iya, iya, kak. Kenapa?”
“Ck..ck..ck, ngelamuunn..,terus. Ada apa, sih?”
“Ah, ga ada apa-apa, kok. Ada yang abis?”
“Susu segar, kamu beli yah, untuk stok hari ini aja, 10 botol.”
“Oke.”
***

Hemm, kemana Ara? Ini bukan lagi telat namanya. Sudah lebih dari tiga jam pergi. Jarak toko susu segar langganan kami bisa dijangkau dalam waktu 30 menit. Oke, 1 jam jika melihat kebiasaan Ara akhir-akhir ini. Tapi ini sudah lebih dari tiga jam! Aku tidak bisa meneleponnya karena ia tadi membiarkan HP-nya tergeletak begitu saja di meja dalam van. Untung saja Dira, tetangga sebelah rumah kami, bisa aku “berdayakan” dadakan untuk membantu melayani pengunjung kafe.

Menjelang Maghrib, Ara belum datang juga. Kuputuskan untuk mencarinya. Mumpung kafe belum lagi masuk ke masa padat terakhirnya. Aku bisa pergi dengan cepat dan memasrahkan kafe pada Dira. Ia sudah sering ikut bekerja bersamaku.

“Dir, aku nyusul Ara dulu ya. Titip kafe sebentar. Paling lepas jam tujuh baru ramai lagi.”
“Oke, Kak Vin. Beres.”

Segera kustarter Vixion hitam-merahku, tanpa repot-repot mengenakan helm. Rumah tukang susu itu masih di seputaran tempat tinggalku, tidak perlu keluar ke jalan besar. Sekilas kulihat helm merah Ara masih teronggok di rak dekat dalam garasi. Pertanda tadi ia tidak berniat untuk sekalian mampir ke tempat lain.

Kususuri jalan yang biasa kami lalui setiap pergi membeli susu. Sengaja kupacu motorku dengan perlahan, kalau-kalau Ara mengalami musibah di tengah jalan. Lampu-lampu jalan sudah sepenuhnya menyala, seperti menancapkan dominasinya atas malam, menyingkirkan sisa senja di langit yang mulai sepenuhnya kelam. Sayup suara adzan terlambat masih menggema di sana-sini. Di mana Ara?

Setengah perjalanan sudah kulewati, yang ditandai dengan persimpangan jalan di tengah perkampungan warga. Agar sampai ke toko penjual susu, aku harus mengambil belokan ke kanan. Tanpa berpikir apa-pa, kulewati persimpangan itu. Setelah hampir melewatinya penuh-penuh, aku tercekat. Sekilas sepertinya aku melihat motor matic putih Ara tak jauh dari persimpangan tadi. Kuputar motorku untuk memastikan.

Dan, di situlah Ara. Duduk memeluk lutut di samping motor kesayangannya. Ara…apa? Apa yang luput dari pandanganku selama ini? Tiba-tiba aku merasa menjadi kakak yang tidak bisa dibanggakan.

Kudekati ia perlahan. Aku tak mau mengagetkannya, meski bisa jadi ia sudah mendengar suara motorku berhenti tadi. Aku duduk saja di sampingnya. Gemetar oleh debar yang tertahan.

“Mengapa ada rindu yang tak boleh tersampaikan, Kak?”
Sejenak aku tak tahu harus menjawab apa.
“Karena ada bilik dalam hati yang tak semuanya punya nama, Ra.”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meyakini sebuah rasa, Kak?”
“Tidak ada yang pernah menghitungnya, Ra. Niten sang Musashi butuh kehidupan abadi untuk tahu bahwa Aofie-lah tempatnya ingin pulang. Romeo dan Juliet tidak butuh sampai seperempat episode untuk tahu apa yang mereka rasa. Okumichi no Kami Genji bahkan butuh samsara antara dirinya dan Shizuka. Mungkin sekejaban, mungkin setahunan, mungkin sedekade.”
“Ayo pulang, Kak.”
“Yuk.”
***

Tidak ada yang tahu, setengah jam lebih lama waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke toko tukang susu itu bukan karena aku malas, atau lupa jalan, alih-alih mangkir mampir ke tempat teman. Aku, hanya tidak bisa. Tidak sanggup. Melewati tempat itu. Persimpangan itu.

Persimpangan itu sudah berkali-kali kulewati, rumah hijau tosca tepat di dekatnya pun entah sudah berapa kali kulalui. Rumah yang cantik dan asri. Dengan warna-warni dari tetumbuhan dan bebungaan di halamannya. Dengan kibar kerai motif bunga pink-ungu-merah di jendela depannya. Rumah yang anggun, seolah memancarkan sinar dan senyum yang mampu meluruhkan gunung es Antartika.

Kekagumanku semakin menjadi beberapa minggu lalu. Membuatku tak pernah lupa lekat-lekat menatapnya. Membuat sesi perjalanan melintasi ke toko langganan menjadi lebih menyenangkan. Ada sesuatu yang terasa..setengah magis setengah gravitasis dari rumah itu.
***

Sejak menemukan Ara yang terpuruk di persimpangan itu, aku belum lagi menanyainya. Aku tahu ia butuh waktu sampai bisa mencerna semua yang dirasainya, yang merajainya. Untuk sementara, tugas berbelanja kuserahkan pada Dira, yang sudah resmi kutarik jadi karyawan baru Vinara.

Ada rahasia kecil yang kusimpan, sebenarnya. Tepatnya kejutan kecil, yang menurutku akan semakin membuat hidup kami mapan dan berkecukupan kelak.
***

Tiba-tiba kudapati papan bertuliskan “Sold Out” di depan rumah itu. Aku tak ingat lagi apa yang kurasa ketika membaca tulisan itu. Seperti Paranelle Flamel yang memaksa diri membagi auranya untuk sang Alchemist, pijar kelabu mulai menyelubungi tubuhnya, mengganti aura biru miliknya.

Keesokan harinya, sudah tidak ada lagi petak bunga belasan warna itu, tidak ada lagi sosok utuh rumah itu. Puing-puingnya sudah sepenuhnya lenyap, menyisakan serpih-serpih puing tembok rumah yang masih terlihat bekas cat hijau toscanya.

Sejak itu, selalu kucari jalan memutar setiap kali Kak Vin memintaku berbelanja. Aku tak sanggup melewati persimpangan itu lagi. Entah sampai kapan. Mungkin seminggu, sebulan, setahun, atau tak berbilang masa.

Aku perlu ritual, seperti saat melarung nama-nama dalam botol kaca di Laut Andaman beberapa tahun silam. Kutuliskan mantra di secarik kertas tipis berwarna hijau. Agar rindu mengarung bersama ombak yang berkelana ke lima samudera, tanpa perlu berlabuh kembali di dermaga bertuliskan namaku, tanpa perlu lagi berpulang ke pulau bertajukkan rasaku.

Melepasnya, seperti dandelion putih yang berkibaran bersama angin, setelah dilepas pohon induknya yang tak hendak mengharapnya kembali, hanya mengharapnya kelak menjadi sosok yang lebih kuat dari pohon asalnya.
***

“Ra, sini deh, ada yang mau kuobrolin.”

Senin sore, kafe tutup, seperti bersenin-senin sebelumnya. Saatnya menikmati hobi dan kegemaran kami masing-masing. Sementara aku sibuk me-make over motorku, Ara tampak sibuk denan McBook Air krumnya. Kuperhatikan, sudah tiga gelas teh tarik dingin ia tandaskan.


“Kenapa, Kak?”
“Hemm, sebenarnya udah agak lama mau kasih tau hal ini, cuma kayaknya pingin kasih kamu little surprise aja.”
“Tentang?”
“Kamu ingat, kan, kita pernah bahas ingin mencari tempat yang lebih luas dari sekadar ruang depan rumah kita plus pelataran depan ini untuk mengembangkan kafe? Tapi, tempat baru itu harus tidak jauh dari sini, agar tidak membingungkan pelanggan. Nah, bulan lalu aku ketemu orang dekat sini yang mau jual rumahnya, sangat murah, pemiliknya cuma kepingin pindah cepat dari sini.”
“Oke, then?”
“Maaf karena aku ga cerita, pingin jadi kejutan saja. Lagian harganya murah banget, tanahnya luas. Satu-satunya masalah hanyalah rumah itu harus dirobohkan dulu agar kita bisa membangun sesuai dengan imajinasi kita. Intinya, kita sekarang punya tempat baru yang lebih luas! Kita bisa rancan sesuai apa yang kita mau.”
“Wah, kalau kulihat dari antusiasme Kakak, sepertinya tempatnya oke dan sesuai standar kita. Aku ga masalah, Kak, toh aku jua ga terlalu tahu tentang jual-beli tanah dan semacamnya. Lokasinya di mana?”
“Dekat sini, kok, kamu malah sering melewatinya menurutku. Mau lihat sekarang?”
“Boleh, yuk.”

Berhubung Vixion milikku belum beres benar, kami berboncengan denan motor Ara. Aku tak sabar ingin menunjukkan lokasi kafe baru kami. Aku yakin Ara akan suka sepenuhnya.

“Nah, ini dia, Ra. Luas, kan? Lokasinya strategis, kita bisa buat space parkir yang lumayan juga. Itu, di bagian yang masih teronggok sisa puing itu, akan kuletakkan van kita. Gimana? Kamu suka? Ra? Kamu kenapa? Ara! Kamu mau ke mana?! Ara!!!”
***

Aku selalu cinta dunia memasak. Menikmati setiap masakan dan minuman yang kuracik di dapur beroda kafe kami. Merasa bahagia melihat senyum puas pelanggan yang mengembang cerah setelah menandaskan semua hidangan kreasi kami. Tidak pernah terlintas jika kelak aku akan berubah seperti ini. Tidak lagi sanggup memasak.

Rumah persimpangan itu. Mengapa harus rumah itu yang Vin beli? Mengapa harus tempat itu yang ia pilih?

Akhirnya, kusadari, apa nama rumah itu dalam hatiku.


*Menjelang Nyepi 2012

2 komentar:

Anonim mengatakan...

teruslah kamu menulis. aku selalu membacanya...

enok mengatakan...

wah, mb muth nih selalu punya ide yang tak biasa,,, tularin dung mba ^^

kapan buku fiksinya terbit lagi??