Selasa, 20 November 2007

A LETTER THAT NEVER SEND OVER



`the esfand`

Dear Lusy Riu,
Sudah bertahun-tahun sejak terakhir aku melihatmu di bangku putih itu. Duduk saja. Dengan jaket oranye terang dan sedekap di dada. Bagaimana kabarmu sekarang? Kita memang tidak saling mengenal. Namamu pun baru kuketahui setelah lama engkau menghilang dari bangku putih kesayanganmu itu. Aku sudah lama juga meninggalkan tempat itu. Tempat di mana bangku kesayanganmu itu berada. Kabarnya, bangku itu masih ada disana. Menjadi tempat favorit para mahasiswa berbagi jawaban tugas kuliah.

Kata beberapa kawan, kampus kita kian padat dan sesak. Parkirannya apalagi. Jarang sekali yang berlari-lari mengejar bus kota atau memeras keringat mengayuh sepeda seperti aku dan kawan-kawan dulu, alih-alih berjalan kaki. Ingat ruas jalan sempit di samping kampus itu? Sekarang sudah penuh berjejalan mobil-mobil “city car” model terbaru. Penjual siomay (yang piringnya lupa pernah tidak kukembalikan) itu entah tergusur kemana kini.

Apakah modernitas memang sebuah keniscayaan yang akan lumat menguarkan semua kesahajaan dan kesederhanaan? Apakah moernitas memang sebuah ruang tanpa batas waktu dan ujung pangkal? Mengapa tak hidup begitu saja, just like that, tanpa harus menghadapi sekian perulangan dan eskalasi zaman baru?

Bagaimana denganmu? Masihkan jaket oranye itu setia kau kenakan? Karena kalau tidak, wajar jika aku tidak akan mengenalimu jika barangkali bertemu di jalanan. Masih ingat ceritaku tentang Cakrawala? Kami sudah tersebar kini. Arsyad sibuk di Kalimantan dengan usaha konveksinya. Ariani masih setia di Jogja, mungkin membuka klinik. Ivan kabarnya ada di Jakarta. Fajar? Entah dimana ia gerangan. Kata beberapa kawan, ia tak lagi mau melanjutkan studinya. Semua penjaja dan pengejar mimpi. Mimpi akan cakarawala yang menyibakkan rembulan penuh itu. Impian kami tak pernah terwujud memang, secara bersama-sama. Namun, ia akhirnya bisa kumunculkan saat sang purnama itu ada dalam genggamanku. Purnama yang memerah, semerah garis cakrawala yang kami guratkan bersama.

Riu,
Seperti halnya malam dan siang yang berbatas, begitu pula barangkali isi hati dan otak manusia. Seolah mengikuti garis alamnya. Setiap manusia pasti menelusuri dunia ini dengan bersandar pada hukum alamnya, gravitasi. Maka, seharusnya pula ia berbuat serupa demi menjaga kestabilan hidupnya. Berselaras dengan semesta. Jangan mengkontra, karena itu berarti membalikkan hakikat kemanusiaan yang sejati.

Riu,
Cakarawala sudah lama bubar, lazuardi juga. Masih ingat kan? Lazuardi yang terlambat kutemukan itu. Ia hidup nyaman damai kini. Aku selalu berharap ia adalah engkau. Namun tentu berbeda. Lazuardi yang selalu nampak cerah meski dunianya begitu biru. Aku senang sudah ada yang mendampinginya kini. Membuat birunya benar-benar biru langit sore.

Dimanapun engkau kini, telah kutangkap jelas pertanda-pertanda yang kau kirimkan dulu, tanpa sengaja. Jangan lupa, selalu kenakan jaket oranye itu. Sekarang musim hujan. Kenakan juga tudungnya jika gerimis mulai menghias. Sampai jumpa di bangku putih kenangan. Entah kapan.

Ciganjur,2007
Tribute to Cakrawala, Fa, and Lusy Riu that never exist in fact

1 komentar:

penakayu mengatakan...

eh suratku untuk muyasa banyak banget, ntar aku posting di blogku :-)